Monday, July 30, 2012

Tears of Rain on July Part 1


Tears of Rain on July
Just because this isn’t reality now, doesn’t mean it isn’t possible in the future.
.Tears of Rain on July.

Ketika aku mengenal apa artinya hidup, disana aku bertemu satu rasa. Cinta. Aku berharap cinta ini hanya untuk Tuhan. Tapi kurasakan tak demikian. Baiklah, kini kuberikan kepada ayah bundaku, lalu saudaraku. Kepada siapa lagi? Aku tak memungkiri akan hal ini. Hal konyol yang membuat hidupku, begitu penuh rasa. Aku tak begitu tahu apa rasanya.
Aku banyak kehilangan sosok-sosok yang berharga dalam hidupku. Akankah juga aku merasakan hal ini sampai akhir hayatku? Aku berharap tidak. Tapi terjadi begitu saja.
Oh Tuhan, aku hanya bersujud kepadamu. Menanti beribu jawaban dari sejuta pertanyaan. Apakah ini kesenangan? Kemudian aku harus memberikan senyuman palsu? Aku menangis. Hanya tangis yang membuat dada ini terguyur kesejukkan. Aku tak mampu tersenyum bagai seribu tahun lamanya. Tapi aku mempunyai satu kebahagian apabila aku tak hidup di dunia ini lagi, hanya berharap. Walaupun aku berlumur dosa. Tapi aku akan menebus kebahagiaan itu secepat mungkin. Secepat aku berusaha untuk mencintainya tetapi bukan dia. Perasaan yang belum kukenal sebelumnya. Dan kebahagiaan tidak akan pernah selalu terjadi saat kudapatkan sampai kulepaskan. Disanalah tumbuh kepahitan dan angan-
angan. Itulah cinta.

.Tears of Rain on July.
Hari ini aku berharap hariku begitu baik dan terasa sempurna. Kuselesaikan semua pekerjaanku di rumah dan saatnya aku beranjak ke tempat dimana aku menuntut ilmu. Lelah rasanya tapi ini tanggung jawabku. Aku menyingkirkan guyuran keringat yang mengalir di dahiku. Baru saja kubersihkan seluruh badanku dengan fruity soap favoritku. Tapi karena waktu mengejarku, badan ini sudah terasa panas bagaikan berdiri di depan api unggun, kiranya begitu.
“Aku harus pergi sekarang, Mum.”
“Mencari ilmu atau mencari cinta?” senyum Ibu.
“Yang pertama.” benar-benar pertanyaan yang konyol. Perlukah aku mencari cinta? Aku sudah punya, buat apa? Rasanya aku sombong sekali. Tapi aku merahasiakan ini di depan Ibu.
“Rain, hari ini kau kembali ke rumah jam sepuluh malamkah?” sindir Ibu.
Mum, aku bukanlah perempuan yang suka clubbing atau hang out dengan teman-teman. Aku mengerjakan tugas di kampus. Walaupun kadang-kadang aku suka menyelesaikannya di kedai kecil. Tapi tak seburuk yang dipikirkan orang tua akhir-akhir ini.” jelasku.
“Aku mengerti, sayang. Apakah kau pikir, aku akan menuduhmu? Kau anak yang baik dan kupercaya. Percayalah padaku jika kau ingin ku percaya.”
“Bukankah itu kata-kata yang seharusnya kuucapkan?”
“Hahaha, pergi sekarang sebelum penjaga pintu gerbang memukulmu dengan senjatanya.”
“Itu terlalu berlebihan.” aku tersenyum.
Halte kali ini terlihat begitu sepi. Aku menunggu bus yang akan kutumpangi. Sekitar lima belas menit aku menunggu di sini sambil menegok ke arah pergelangan tanganku. Arlojiku sepertinya sudah kesal memutari lingkaran penuh ketidakpastian. Mahasiswa-mahasiswa terlihat begitu elegan dengan Toyota Corolla, Honda Accord, Civic. Entahlah, terlihat keren atau memuakkan.
“Apa aku harus merasakan kebancian ini setiap hari? Sial! Kali ini gagal kesempurnaan hariku, well.” gumamku penuh kesal.
“Hey, terlihat begitu sempurna bukan? Kau buang kemana keretamu? Hahahaha.” ejek gerombolan mahasiswa yang kiranya begitu busuk dimataku dari dalam jeep nya.
“Hey, bodoh! Aku tidak miskin. Semiskin hatimu!”
Sangat sempurna. Dan aku benci menunggu.

.Tears of Rain on July.

 
“Hey Rain, harimu begitu sempurna bukan?” tanya Anna.
“Sangat sempurna.” kubanting semua buku-buku dan ranselku ke atas meja.
“Hady menunggumu di parkiran.”
“Maksudmu?”
“Pergilah sekarang sebelum dia pergi.”
“Baiklah jika itu maumu.”
“Mauku? Hey, hujan! Ini kemauanmu. Payah!”
“Baiklah jika itu, mauku. Bukankah begitu?”
“Waktu adalah cinta! Cepat!” bentak Anna.
Aku hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Anna. Jantung ini bekerja dengan cepat. Tak sabar ingin bertemu dia. Akankah kurapikan lekukan-lekukan di bajuku? Tapi kekasihku tak menyukai hal itu. Dia menyukai keburukanku. Terdengar aneh bukan?
“Hey sun! Kau terlihat begitu buruk dan payah! Pasti harimu sangat sempurna!” sapanya begitu tawanya.
“Hey star! Aku hujan bukan matahari. Aku benci hariku. Kau sudah makan? Minum? Mengerjakan PR?”
Well, you’re my sun, darl. Rain too. Aku tak benci kau, aku belum makan, aku belum minum dan aku tak mau mengerjakan PR.”
“Jangan bersikap bodoh, star! Aku tak akan membelamu di depan guru gendut itu.”
“Wow, kita beda jurusan. Kau matahari dan aku bintang. Mana mungkin kau bisa berurusan dengan nyonya gendut itu. Hahahaha”
“Aku lapar, darl.” Kupotong pembicaraan konyolnya dan kuajak Hady untuk meninggalkan parkiran kotor itu.
Aku dan Hady telah menjalani hubungan ini sekitar lima tahun lamanya. Dari awal aku duduk di bangku sekolah menegah atas sampai akhirnya kami satu universitas. Dan sampai di pernikahan nanti, harapanku.
Siang hari seperti ini, aku memanggilnya star, bintang. Dan ia memanggilku sun, matahari. Lain halnya jika nanti malam. Aku sangat mencintainya. Walaupun terpotong dengan banyak rintangan. Tak terlihat begitu sempurna. Tiap hari ia berlaku konyol dan tak lupa candanya yang mewarnai hari-hariku. Hady, cinta pertamaku. Dan terakhirku. Namun, aku belum sempat memperkenalkannya dengan ibuku. Rasanya seperti aku membohongi Mum lima tahun ini. Tak bohong sepenuhnya, suatu saat aku pasti akan mengenalinya.
“Cokelat hangat untukku, roti cokelat untukku, dan ini PR ku untukmu. Selamat menikmati untukku dan selamat mengerjakan untukmu, cantik.” ucap Hady.
“Hey, itu cokelat hangatku. Dan itu juga roti cokelatku. Kau ingin bermain curang denganku? Kerjakan tugasmu!”
“Tidak! Apakah kau ingin kandungan lemak dua puluh enam persen dari makanan favoritmu ini menumpuk di badanmu? Oh, menjijikan. Kekasihku terlihat seperti nyonya gendut.”
“Apakah ini malam? Bodoh!”
“Tentu saja ini malam, karena aku adalah bintang. Apakah ada bintang di siang hari?”
“Ada.”
“Kau?”
“Cepat kerjakan! Apabila kau sudah menyelesaikan semuanya, kuberikan cokelat manis ini spesial untukmu, darl. Dan untukku juga.”
”Cerewet.”
Sambil ia mengerjakan tugasnya, kuberikan sepotong roti cokelat ini ke dalam mulutnya.
“Argh, notebook sial. Rain, aku pinjam notebookmu sebentar saja.”
“Lama saja.” jawabku dengan senyuman menggodanya. Hady pun tersenyum menggodaku kembali.
“Rain, buku-buku menjijikanmu membuat bahuku terasa remuk. Bawalah buku-buku ini atau akan ku lemparkan ke tong sampah. Pengajar sudah masuk kelas.” tiba-tiba Anna datang dengan wajah kesalnya.
Thanks, best! Hahaha, aku tak menyangka kau kuat mengangkat semua buku-buku indah ini.”
“Indah? Itu sangat busuk, Rain.”
“Hady, aku harus meninggalkan tempat ini, meninggalkan kau, meninggalkan roti cokelat dan cokelat hangat, dan meninggalkan notebookku. Jangan lupa selesaikan semua tugasmu. Oh iya, kali ini kau yang membayar semuanya. Walaupun memang selalu kau yang membayar. Doakan aku, star.” kukecup pipinya dan aku bergegas meninggalkan kantin.
“Rain!”
“Ya?”
I love you.”
“I hate you!” 
“Hahahaha, hati-hati sayang.

.Tears of Rain on July.

“Selamat siang. Kami akan memberikan pengumuman sekaligus kabar gembira untuk sepuluh anak yang terpilih sebagai mahasiswa berprestasi dan sebagai penghargaan, kami memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengikuti program tukar pelajar. Kami berharap program ini dapat dijalankan dengan baik dan dapat membawa nama sekolah ini. Tak lupa kami ucapkan, selamat.”
Terdengar begitu asyik. Tetapi tak ada sedikitpun keinginan hati kecil untuk menjadi mahasiswa yang terpilih untuk mengikuti program tukar pelajar. Apa jadinya aku harus meninggalkan Ibu, Anna, terutama Hady. Kali ini terdengar begitu buruk.
“Kate Brown.”
“Adilla Lilany.”
“Maryam Hafsh.”
“Alee.”
“Bosa Darj.”
“Hafeez W’alyn.”
Mengapa terasa begitu kencang hantaman detak jantungku. Aku tidak berharap terpilih. Tetapi akhirnya,
“Dan perwakilan dari kelas ini adalah…”
“Aeshaa.”
“Sial!” gumamku dalam hati. Hampir aku meneteskan air mata ini. Mungkin aku membuat bangga sebagian orang entah ibuku dan tenaga pengajar di universitas ini. Mengapa harus aku? Apakah tidak ada anak lain yang nasibnya jauh lebih beruntung dengan mendapatkan kesempatan emas ini. Kapan hidupku terasa begitu sempurna? Seolah-olah aku adalah robot yang dititipkan di dunia ini. Kejam! I hate my life!
Kemudian aku menangis. Tuhan, aku tidak menginginkan hal ini terjadi.
“Selamat nona Aeshaa. Kami berharap anda dapat membawa nama universitas kami.” dijabatnya tanganku yang sangat dingin dan pandanganku mulai kosong.
“Hey, Aeshaa! Selamat ya! Aku turut senang, padahal aku berharap mendapatkan kesempatan itu. Tetapi dewi fortuna memihakmu.” ucap Sarah, teman sekelasku.
“Sudah, jangan menangis. Aku tahu kau sangat terharu begitupun aku.”
Semuanya salah, aku tak merasakan kesenangan sedikitpun. Mengapa, apa yang aku inginkan dan harapkan tak pernah kudapatkan. Aku menginginkan kesempurnaan hidup. Kemauan dan ketercapaian. Keindahan, kebanggaan, sentuhan kebahagiaan. Apakah ini semua karena angan-anganku yang terlalu tinggi. Satu yang kuberatkan, aku harus membiarkan Ibu hidup bersama kakak perempuanku, Rania. Dan Hady. Ya, Hady. Mendengar namanya, aku menangis. Aku benci.

.Tears of Rain on July.✿ 


*Text Messages* *Night*
“Sun, aku ingin bertemu denganmu.”
“Hey Sun, oops maksudku Star! Aku sangat merindukanmu, cantik. Tidakkah kau lupa menanyakan kabarku? Atau jangan-jangan, harimu begitu sempurna?”
“Hady, aku serius. Ini jauh lebih buruk dari apa yang kau bayangkan.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin bertemu denganmu.”
“Tiap hari kita bertemu. Baiklah.”
“Kedai Kecil, jam 8 malam.”
“I love u, Star..:)”
*End Messages*
Arloji yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul delapan tepat. Aku tiba di Kedai Kecil ini tepat waktu. Perfect! Segera ku bergegas duduk di kursi kayu favoritku tepat di pinggir jalan. Suara mesin mobil yang melaju dan klakson yang membentuk bisingnya suara. Aku menunggu kehadiran Hady hampir tiga perempat jam. Aku lelah dan tak tahu harus berbuat apa. Pesanku mungkin tak sempat ia baca. Kuhubungi dia, tapi tak ada jawaban. Suhuku sudah mulai menaik. Aku menghela nafas pelan-pelan. “Sabar, Rain. Hady tak mungkin tidak datang. Dia pasti datang.”
Usai sudah tiga menit berlalu. Aku duduk suntuk. Secangkir Coffe Late sudah habis kutelan.
“Apakah anda ingin menambah lagi?” tanya pelayan bertopi itu.
“Tidak, terimakasih.”
“Apakah anda sedang menunggu seseorang?”
“Apakah itu urusanmu?”
“Tentu saja bukan, tapi kelihatannya yang kau tunggu sudah tiba, tapi tidak tepat waktu.” sambil menunjuk ke arah utara. Dan pria itu berlari ke arahku.
“Hey, Star! Maaf, aku terlambat.”
“Kau tidak pernah terlambat sebelumnya. Yang selalu terlambat adalah aku.”
“Iya aku mengerti. Harimu begitu sempurna, bukan?”
“Tidak.” kemudian aku menangis.
“Aeshaa?”
Hady menarikku dan memelukku erat. Aku menangis entah begitu berat aku ingin menceritakan masalah pertukaran pelajar. Aku tak ingin mengucapkan hal tersebut. Melihat Hady yang begitu perhatian padaku. Ia memelukku tak dilepasnya. Aku menangis dalam pelukan hangatnya. Apakah ini yang terakhir? Semoga tidak.
“Apa yang terjadi?”
Aku terdiam terpaku.
“Aeshaa? Aku kekasihmu. Ceritalah padaku, kau tak seperti biasanya.”
Long distance.”
“Maksudmu? Aku tidak mengerti.” sambil mengusap air mataku, “Bicaralah pelan-pelan, aku akan mendengarkan, darl.
“Aku dipilih sebagai salah satu mahasiswa yang akan mengikuti program tukar pelajar.”
“Wow, bukankah itu hal yang bagus? Kau anak yang pintar!”
“Tak seperti yang kau bayangkan.”
Congrate, darl. I’m glad to hear that.” Hady mencium tanganku.
“Hady..”
“Ya?”
Aku menghela nafas, menahan air mata ini. Kini saatnya kulontarkan semua yang ada dibenakku.
“Kau tidak pernah membayangkan apa jadinya apabila aku berada di negeri luar. Sedangkan kau disini?”
“Tentu saja itu akan terjadi.”
“Aku di Paris.”
“Aku mengerti, Aeshaa. Hal ini tak perlu ditangisi. Kita cari jalan keluarnya.”
“Ini cokelat untukmu. Dan ini Apple Pie Shoes, warna pink. Cantik bukan?”
“Hady, sempat-sempatnya kau membelikan barang seperti ini. Cokelat? I love it. Thanks, darl!
“Ya, maaf. Aku terlambat hampir satu jam. Aku menyempatkan diri untuk membeli sepatu ini. Parkiran sangat penuh, hingga mehghabiskan waktu yang sangat banyak. Kau suka sepatu itu kan?”
“Kalau tak suka, sudah kulempar sepatu ini ke mukamu. Sudah lama aku menginginkan ini. Ternyata kau masih ingat. Thanks, dear!”
“Sudah lama juga aku ingin memberikan sepatu ini untukmu. Tugas kuliah membunuhku. Uang sakuku juga terkuras dengan biaya kuliah yang menjijikan ini.”
“Jangan menangis lagi, star!”, “Aku akan membantumu.”
“Membantu?”
“Ya, aku akan meminta izin kepada rektor sekolah kita, atau dosen-dosen yang menyelenggarakan program pertukaran pelajar.”
“Maksudmu?”
“Kau tidak ingin meninggalkan negeri ini kan?”
“Tentu saja.”
“Apabila aku dapat membatalkan semuanya.”
“Kau yakin?”
“Jika benar adanya, kita menikah.” mendengar ia berbicara seperti itu, kupukul bahunya. Hady tertawa.
“Hey, aku serius, nona. Apa kau tidak menginginkan hal ini?”
“Hanya orang bodoh yang tidak mau, Hady.”
“Apakah kau ingin menjadi orang bodoh?”
“Cerewet!”
Aku tersenyum. Hady benar-benar membuatku luluh. Ialah satu-satunya lelaki yang dapat menenangkan perasaanku. Kini tidak terlalu berat. Aku dapat menggapai semua, dan waktuku terasa begitu sempurna saat bersamanya. Ia tahu bagaimana menenangkan dan menghiburku. Dengan sentuhan kasih sayang dan rasa kebersamaan yang begitu hangat. Tak dapat kubayangkan, pertukaran pelajar ini benar-benar akan terjadi.
Hady mengantarku pulang dengan mengemudikan Picanto milik ayahnya. Ya, Hady adalah anak pengusaha yang tidak bisa dibilang pengusaha besar, hanya kecil-kecilan. Tapi ia termasuk golongan “mampu”. Namun, Hady anak yang mandiri. Ia tidak menetap bersama orang tuanya. Ia tinggal di sebuah kost-kost-an dekat dengan kampus. Hady dibesarkan oleh ayahya, tanpa ibunya sejak umur dua belas tahun. Ia tidak merasakan sentuhan kasih sayang seorang ibu. Dengan begitu,terkadang  ia terlihat manja di depanku.
Star, jangan kau pikirkan lagi masalah-masalahmu. Aku akan membantumu sepenuhnya.” Sambil mengecup keningku, dan aku memejamkan mata.
Thanks, Hady. Aku harus turun, sebelum ibuku melemparku dengan pot. Sampai bertemu besok.”
“Hahaha, itu berlebihan sayang. Hati-hati.”

.Tears of Rain on July.✿ 

“RAIN!!”
“Tidak usah berteriak seperti itu, bodoh!”
“Bisakah kau lebih kasar dengan kakakmu, Aeshaa?” ucap Ibu menyindirku.
Rania, kakak perempuanku yang amat sangat kubenci. Mengapa aku harus tinggal satu atap bersamanya. Aku tak mengerti sesungguhnya, apakah dia anak adopsi, atau aku? Tapi aku jauh lebih mirip dengan ayah, timbang ia. Aku juga tak mengerti, siapa yang menurunkan sifat busuk yang ada pada dirinya? Tidak seperti ayah, apalagi Ibu. Entahlah.
“Apa yang kau inginkan, bad!” bisikku pada Rania.
“Kau akan meninggalkan rumah ini.”
“Maksudmu?”
“Tentu saja aku akan mengusirmu.”
“Diam kau, racun!”
Kemudian Rania menampar pipiku.
“Kau akan pergi selamanya, Rain! Dan aku sangat menginginkan hal itu. Semua terkabul!”
“Aeshaa, Rania! Apa yang kalian lakukan? Lagi-lagi hal bodoh yang sangat aku benci!”
“Dia menginginkan aku pergi dari sini. Aku akan pergi, bu!”
Thanks, kau sangat baik, Rain!” Rania tersenyum mengejekku.
“Rania, kembali ke kamarmu!”
“Hey, aku bukan anak kecil, bu!”
Lalu Ibu menyiram mukanya dengan secangkir teh. Untung saja tidak panas. Aku tak membayangkan apabila panasnya teh itu membakar kulit Rania.
Ia nampak kesal. Matanya melotot penuh amarah, ia lari dan membanting pintu kamarnya. Selalu itu yang ia lakukan. Mungkin ini yang membuatnya iri padaku, sehingga kami tidak cocok.
Aku menahan tangisan sesak di dada. Aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan keadaan.
“Minum dulu teh ini.”
“Terimakasih.”
“Apa maksud perkataan Rania tadi?”
“Lupakanlah.”
Please..”
“Dua puluh menit yang lalu, ada telepon dari sekolahmu. Ternyata dosenmu. Ia meminta izin padaku untuk mengizinkan kau mengikuti program tukar pelajar…”
“Kau menyetujuinya?”
“Dengarkan aku sebentar. Semua terserah padamu. Tetapi ini yang diharapkan sekolahmu. Dan harapanku. Aku bangga mempunyai putri yang pintar…”
“Kau menyetujui tanpa meminta persetujuan padaku sebelumnya?”
“Aeshaa, bisakahkau menghargai pembicaraanku. Aku belum selesai berbicara. Kau memotongnya, kebiasaan ayahmu!”
“Aku benci padamu!”
“Aeshaa!”
Aku menangis. Aku benci hal ini. Mengapa Ibu tidak simpatik padaku? Kukira pemikiran Ibu sama dengan Hady. Ternyata tidak.
“Maafkan aku, Rain. Ibu akan baik-baik saja disini. Kau meninggalkan kami tidak selamanya. Hanya empat tahun. Pasti kami akan menjengukmu kesana. Aku tak akan melupakanmu. Handphone, chating, video chat, 3G, messages, banyak fasilitas, sayang. Percayalah padaku. Aku selalu mendoakanmu. Kaulah harapanku.”
“Jadi, kau sudah menyetujuinya?”
“Menurutmu?”
“Argh. Baiklah.”
“Besok aku ikut ke sekolahmu.”
“Buat apa?”
“Tanda tangan persetujuan dan penataran. Aku diundang rapat pertemuan orang tua dan dosen.”
Aku kalah. Keputusan ini sudah hampir matang. Aku tak dapat membantah. Mungkin aku harus mematuhi ia, Ibu. Semoga ini yang membuatnya senang. Kami berdua setuju menandatangani persetujuan untuk mengikuti pertukaran pelajar di Paris. Prof. Hisham menjabat tangan ibu, lalu aku. “Selamat. Kami titipkan semua kepada anda. Saya berharap yang terbaik dan kejar terus prestasi anda.”
Aku tersenyum, lagi-lagi menghela nafas. Semoga ini jalan yang terbaik. Aku akan terbang ke Paris dua minggu lagi. Entah terlalu cepat, atau lama.
 
 
.Tears of Rain on July.✿ 
 
“Kau sudah menyiapkan baju-bajumu, RAIN? Jangan lupa habiskan semua barang-barang bekas di kamarmu.”
“Diam kau, bodoh!”
“Hey, slow down! Aku tidak mengajakmu untuk bertinju hari ini. Hanya silat lidah.” ucap Rania dengan bersila tangan di depan pintu kamarku.
“Keluar kau brengsek!” kubanting pintu kamarku.
How lucky I am, sebentar lagi kau pergi dari rumah ini!”

*callin’*
“Hady. Apa kabar?”
“Hey Sun! Kemana saja kau dua jam tak ada kabar.”
“Berlebihan.”
“Hahahaha, aku ingin membicarakan hal yang sangat penting.”
“Hey, bodoh! Aku yang menghubungimu. Bukankah seharusnya aku yang berbicara seperti itu?”
“Dengarkan aku. Aku minta maaf sebelumnya karena aku tidak bisa menepati janjiku untuk membatalkan kau berangkat ke Paris. Kepala berkumis itu…”
“Aku jadi berangkat, Hady.” menangis.
“Aeshaa?”
“Maafkan aku.”
“Mengapa kau minta maaf? Tentu ini bukan salahmu, Hady.”
“Aku tidak tahu jika kau jadi berangkat. Mengapa kau tidak memberitahukan padaku sebelumnya? Kukira kau akan berhasil membatalkan semua.”
“Ini diluar dugaan.”
“Empat tahun?”
“Ya.”
“Berapa lama lagi kau akan berangkat?”
“Dua hari lagi.”
“Hey, Star! Mengapa kau menyembunyikan ini?”
“Kita bertemu di kedai kecil, sekarang.”
*End call*
Kunanti kehadiran Hady. Tak kusentuh sedikitpun cangkir berisi Coffe Late. Aku termenung tak menyangka hal ini benar-benar terjadi. Kuharap ini bukan pertemuan yang terakhir. Aku sangat mencintai Hady dan aku membutuhkannya setiap waktu.
“Aeshaa.”
“Semudah itu?” ucapku dan Hady memelukku.
Everything’s okay, darl. Aku mendukungmu.”
“Izinkan aku malam ini untuk tinggal bersamamu.”
“Hubungi ibumu, sekarang.” sambil memberikan handphone miliknya.
*Callin’*
“Hey, Mum. Apa kabar? Ini aku, Rain.”
“Baru saja kau pergi, sekarang menghubungiku. Kau meminta izin padaku?”
“Ya. Malam ini aku tidak tidur di rumah.”
“Hang out?”
“Come on, Mum. Aku serius. Aku kembali esok. Entah pagi, siang, atau sore.”
“Jangan bolos. Jangan lupa makan, minum, dan jangan terlihat malas di depan orang-orang. I love you, Rain.”
“I love you too, Mum. Night.”
*End call*
“Masuklah ke dalam. Langit nampak gelap.”
“Ini malam, bodoh.”
“Tapi tak ada bintang. Hujan akan turun.”
Selama perjalanan menuju kost-an Hady, aku menatapnya. Aku benar-benar merindukannya. Ia menatapku balik dan tersenyum. Selalu itu yang ia lakukan. Selalu tahu bagaimana aku memperhatikannya.
Lalu menggenggam tanganku, dan menciumnya. Kemudian tertawa kecil. Aku malah menjatuhkan air mata dengan senyuman bahagia begitupun sedih. Mustahil untuk kehilangan sosok sepertinya. Lelaki yang baik dan tanggung jawab.
“Sial! Ada apa dengan mobil brengsek ini.”
Tiba-tiba mobil berhenti dekat rel kereta api. Sedangkan di luar hujan deras. Benar yang dikatakn Hady, bahwa malam ini akan turun hujan. Hady terlihat begitu lelah. Ia turun dari mobilnya. Baru beberapa langkah ia keluar, badannya sudah basah terguyur air hujan. Ia membuka cap mobil, mencoba mengecek kerusakan mobilnya. Aku pun turun dari mobil, menghampirinya.
Hady membuka jaketnya dan menutupi kepalaku.
“Rain, masuklah ke dalam. Disini sangat dingin.”
“Aku tak akan membiarkanmu di luar.”
“Aku tak akan membiarkanmu diluar dalam keadaan seperti ini.”
Lalu ia menuntunku masuk ke dalam mobil.
“Hady, izinkan aku bersamamu di luar.”
“Rain, aku tidak ingin kau demam karena hujan. Dua hari lagi kau berangkat. Apa aku akan membiarkan kau sakit? Aku sayang padamu, Aeshaa.” memegang pipiku dengan kedua tangannya.
Aku menangis di derasnya air hujan, lalu aku memeluk Hady. Ia membalas pelukkan erat kemudian melepasnya dan menuntunku untuk duduk di dalam.
Wait a minute.”
Sekitar dua puluh lima menit ia membongkar mesin yang mogok. Aku tertidur, karena menunggu terlalu lama, dan waktu sudah larut, hampir pukul sebelas malam.
Ketika aku membuka mata, aku berada di atas ranjang dan berselimut. Kupandangkan mataku ke arah kiri, kulihat sofa cokelat disana dan lantai karpet yang berserakan majalah soccer dan beberapa kaset favorit Hady. Di atas sofa itu terbaring badan Hady yang masih basah karena siraman air hujan. Lelah tubuh itu terlentang. Aku menghampirinya dan mengusap kepalanya yang agak basah. Ia terbangun.
“Hey, kau terbangun? Apakah suara dengkuranku sangat keras hingga membangunkanmu?”
“Tidak, sayang. Pakaianmu kotor dan basah. Gantilah.”
“Oh, iya. Aku tadi, tidak tega membangunkanmu. Bajumu basah, maksudku, pakailah ini.”
Thanks, dear. Kau perlu mengganti ini juga.” kutarik bajunya.
Aku mengganti baju dengan kaos putih milik Hady. Yang sering ia kenakan. Bau harumnya yang sangat khas. Sama seperti biasanya aku memeluk badan Hady.
“Ini teh hangat untukmu. Aku belum restock makanan, jadi tidak ada cokelat hangat. Kau lapar?”
“Ini sangat cukup, Hady. Thanks.
Dating kita, tak seperti yang kau harapkan. Tadinya aku ingin mengajakmu ke pesisir pantai. Menikmati deburan ombak, tapi cuaca dan mobil sialku tak mendukung. Terpaksa kita harus pulang. Maaf, ya?”
It’s okay, Sun! Aku lebih senang disini. Kita habiskan waktu bersama. Besok aku bolos.”
“Rain, kau harus mempersiapkan semuanya besok. Senin, kau berangkat.”
“Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu.”
“Itu yang seringkali kita lakukan.”
“Tapi tidak untuk yang terakhir kali bukan?”
“Terakhir kali?”
“Maksudku, Senin aku terbang ke Paris.”
“Baiklah. Aku punya game baru. Ambil stickmu. Kita tanding, sayang!”
Okay!”
Kami bermain game bersama. Menghabiskan cookies dan M’n’M. Kadang ia memukul kepalaku lalu mengelusnya. Kami tertawa terlihat begitu bahagia.
Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Mataku sudah tidak kuat membuka lagi. Hady menyarankan aku tidur di ranjang dan ia di sofa.
“Aku ingin tidur disini, Sun!”
“Tidurlah dipangkuanku.”
Aku tidur di pangkuannya dan ia memfokuskan matanya ke arah televisi. Lalu aku memegang pipinya memandangnya.

“Kau sangat mirip dengan ibumu.”
“Aku putranya.”
“Tapi, aku tidak mirip dengan ibuku.”
“Kau mirip Alby, kemarin aku bertemu ia.”
“Ayahku?”
“Ya.”
“Aku tidur. Good night.” aku terlelap di pangkuannya. Ia tersenyum dan mengecup keningku.

.Tears of Rain on July.✿ 
 
Keberangkatan sudah di depan mata. Tas dan koper sudah melekat di tanganku. Penerbangan pukul lima sore. Matahari tampak menyembunyikan cahayanya. Suasana bandara dengan orang-orang yang mengejar dunia. Aku dan beberapa pelajar lainnya tampak cemas. Kusandarkan badanku di kursi. Hady belum datang juga. Aku menanti kehadirannya tapi tak kunjung datang. Telepon selularku mati. Setelah kunyalakan, telepon masuk.
“Hey, cantik! Ternyata kau mematikan selularmu. Maafkan aku, aku tidak dapat mengantarmu ke bandara. Ayahku sakit dan sekarang kubawa ke rumah sakit. Aku mencoba izin sebentar, tetapi ayahku tidak mengizinkan. Aku harus mengurus administrasi rumah sakit. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku sangat menyesal tidak dapat melihat keberangkatanmu. Hati-hati di sana, sayang. Aku mencintaimu dan cepatlah kembali. I love you, muach.”
Ternyata hanya pesan suara. Yang kunanti sia-sia. Sedih rasanya. Aku menghela nafas pelan-pelan dan menghirupnya kembali kemudian memejamkan mata.
“Hei, sexy! Maaf aku terlambat. Aku harus menyusul Hady ke rumah sakit, ayahnya terserang penyakit jantung.” sapa Anna hampir mengejutkanku.
“Sapaan yang menjijikan. Bagaimana kau bisa menyusul Hady?”
“Hady menghubungiku, dan ia menitipkan ini.” memberikan bungkusan kecil berwarna merah, lalu aku membukanya.
Ternyata sebuah kalung. Kelihatan sangat lux dan elegan. Lagi-lagi aku menjatuhkan air mata dan memanggil namanya. Kucoba menghubunginya, tetapi tak ada jawaban. Kukirimkan pesan suara.
“Hey Hady. Sebelumnya terimakasih. Kau sangat baik dan perhatian padaku. Aku menyukai kalung indah pemberianmu. Doakan aku selamat dan selalu mengingatmu. Aku akan selalu merindukanmu, Star! Sekarang aku mengenakan Apple Pie shoes pemberianmu. Aku terlihat cantik. I love you, muach.”
Ini adalah sebuah keadilan. Aku beranjak menuju apron, dan memasuki pesawat untuk take off.
“Selamat jalan, Rain. Turunkan hujan disana. Aku sangat merindukanmu.” sapa Ibu dengan senyumannya.
“Jangan pernah lupa untuk menghubungiku.” ucap Anna.

.Tears of Rain on July.✿ 
 
“Welcome to Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne”
Tujuan hari ini survey ke universitas yang akan menjadi makanan sehari-hariku selama empat tahun. Terasa sangat begitu asing. Memandang nama universitas itu, bulu kudukku mulai naik. Entah kenapa hal ini sudah terjadi. Perwakilan hanya sepuluh orang, tak ada yang kukenal.
Aku berjalan menuju sebuah ruangan yang sangat besar dan gelap. Ternyata perpustakaan. “Bibilioth
Ä“que” Bahasa alien, sangat aneh. Aku tak mengerti sedikitpun. Aku memandangi area kampus ini. Hati kecil terasa puas dan sedikit senang. Aku mengarahkan mataku ke langit-langit koridor.
Votre sac est tombé.” tiba-tiba seorang perempuan menegurku dengan bahasa alien. Aku memandangnya penuh tanya.
Escuse me?
“Tasmu terjatuh. Maaf, kita berasal dari negeri yang sama walaupun ibuku Perancis. Namaku Haneya. Kakakku akan bersekolah disini. Namun aku sudah lebih dulu setahun disini.”
“Bahasa perancismu bagus. Aku Rain, maksudku, Aeshaa.”
“Rain? Bukankah berarti hujan?”
“Aeshaa.”
Okay, nama yang bagus. Kau akan bersekolah disini?”
“Ya.”
“Kau kenal kakakku?”
“Aku tak mengenal satupun mahasiswa yang datang bersamaku.”
“Wow, hebat! Kakakku, Alee.”
“Maaf, aku benar-benar tidak mengenalnya.”
“Baiklah. Ternyata ia datang, aku harus pergi. Bye, Rain! Nous reverrons!”
“Call me, Aeshaa!”
Aneh. Aku tak mengerti artinya. Ia malah pergi. Mungkin ia tidak ingin bertemu denganku lagi. Aku harus segera pergi ke tempat dimana aku dapat melemaskan otot kakiku yang terasa sangat beku. Mungkin tidak jauh dari sini.
Kuinjakkan kakiku tepat di “Buttes Chaumont4” ternyata sangat jauh dan lain waktu aku perlu membuang uangku untuk naik taksi. Menyebalkan.
Semua fasilitas tersedia. Sekolah, tempat tinggal, dan biaya penuh, kecuali makan. Mau tidak mau aku harus mencari kerja disini. Aku harus belajar mandiri.
Baru satu langkah aku berjalan, tiba-tiba ada seseorang menabrakku dari belakang dan membuat tasku jatuh.
“Maaf, ini kamarku.” ucap lelaki asing itu.
“Nomor di kunci ini sama dengan pintunya.” bantahku.
“Aku mempunyai kunci itu… Oops, maaf. Aku salah.”
Lelaki yang bodoh, pikirku.
Alee, que faites-vous?” sapa Haneya yang tiba-tiba muncul di belakangku pada lelaki itu.
“Hentikan ucapan bodohmu.”
Ternyata lelaki ini yang disebutnya tadi, Alee. Aku tidak mengenalnya. Dan aku tidak sadar bahwa kami satu universitas, satu pesawat, satu apartemen, dan satu universitas lagi.
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamarku.
*Callin’*
“Hady?”
“Hey, sayang. Kau sudah sampai? Kau sudah melihat sekolah barumu? Teman baru? Tempat tinggal baru? Suasana baru? Bahasa baru?...”
“Hey, dengarkan aku!”
“Waktu baru? Dan jangan sampai cinta baru. Hahahaha.”
“Hady!”
“Maafkan aku, Rain. Kau ingin bicara apa?”
“Apa kabar? Aku merindukanmu.”
Tertawa kecil, “Baik, dan aku merindukanmu juga.”
“Kau sudah makan? Minum?...”
“Mengerjakan tugas. Membersihkan kamar. Semua belum. Namun, mencintaimu, aku sudah.”
“Hahahaha. Menjijikan! Tak kubayangkan ekspresi kelinci yang ada di wajahmu.”
“Lihatlah, kupingku memanjang! Argh, sihir apa yang kau perbuat?”
“Sudahlah, sayang. Aku tak kuat menahan tawa juga tangis.”
“Jangan pernah menangis, kecuali aku menyakitimu. Kuharap hari-harimu akan baik disana. Aku mencintaimu, Aeshaa.”
“Aku sangat mencintaimu. Bye!”
Senyumku kini sudah kembali. Dan hatiku sudah mulai nyaman mendengar suaranya. Aku harus menjalankan aktivitasku dengan baik. Bangun pagi, membuat sarapan, mandi dan berangkat ke kampus. Mengerjakan tugas, menyiapkan makalah, bertemu dosen, belajar bahasa alien. Bertemu teman baru dan melamar kerja. Tentunya mendapat teman kerja baru. Dan tidak tampak malas di depan orang-orang. Pesan Ibu yang sangat kuat.

Kulalui hari-hariku tak terlihat begitu sempurna. Namun menyenangkan. Tak terasa hampir tiga tahun aku menetap disini. Nilaiku membaik dan dosen dari negeriku maupun di universitas ini mempercayai kemampuanku. Hari-hari cintaku juga berjalan baik. Hampir tiap waktu kuluangkan untuk menghubunginya. Video call, chating, video chat, text messaging, calling, semuanya terasa seperti biasa. Walaupun tidak ada pertemuan antara aku dan Hady.
Aku juga menghabiskan waktuku bersama teman-teman baru yang kiranya menggunakan bahasa alien yang sekarang menjadi bahasa sehari-hariku. Hang out tanpa clubbing tentunya. Kami hanya berjalan-jalan. Seperti menyeruput beberapa minuman favoritku di La Palette, Le CafÄ“ dan lainnya. Shopping, membeli peralatan untuk tempat tinggalku. Dan kini aku sudah bekerja di Helmut Newcake, sebagai tenaga penghias kue-kue lezat disana.  Lumayan gaji yang dapat menutupi kebutuhan sehari-hari. Dan beruntungnya toku itu adalah milik Haneya, perempuan yang pertama kali kukenal disini walaupun kami berasal dari negeri yang sama. Aku cukup bersahabat dengannya, ia lebih muda satu tahun dariku. Kiranya ia cukup menyenangkan. Tapi, tetap Anna yang kurindukan.
Aku bekerja disana hampir delapan bulan. Ia memiliki keluarga yang baik. Nasibnya hampir sama sepertiku. Ia tinggal bersama kakak lelakinya, Alee dan ibunya. Ayah dan ibunya bercerai sejak ia umur lima belas tahun. Sedangkan aku, ayah bercerai dengan ibu saat aku berumur sembilan tahun. Terkadang aku merindukan arti sebuah keutuhan keluarga, sentuhan kasih sayang seorang ayah, dan Rania. Yang tiba-tiba berubah jahat padaku semenjak ayah dan ibu bercerai. Akupun tak mengerti apa salahku? Perbuatannya yang sangat memuakkan, hampir merindukan. Tapi aku tak pernah menghubunginya, sekalipun semenjak aku di Paris. Aku tidak peduli akan keadaannya.
            Hari ini aku harus ke sekolah. Menyelesaikan tugas yang akan dikumpulkan tiga hari mendatang. Aku membutuhkan beberapa buku di perpustakaan. Cuaca diluar cukup dingin, di bulan Juni ini cuaca sekitar delapan belas derajat celcius. Aku harus mengenakan mantel buluku, walaupun memang setiap hari aku menegenakannya. Kubawa tas selempangku dan beberapa buku yang agak tipis tetapi rasanya sangat berat. Tak lupa mengenakan boot kulit.
Setelah hampir sampai di depan gerbang kampus, ada pria bersandar di bawah pohon mengenakan topi hitam dan jaket kulit yang kukenal. Aku berhenti sejenak. Ia menangkat topinya dan memanggil namaku. Aku terkejut, tak menyangka kehadirannya di depan mataku.
“Alby?”
“Apa kabar?”
“Bagaimana kau bisa sampai disini, dad?”
“Aku bisa kemana saja.”
“Mustahil.” ia memelukku dan memberi kecupan di keningku. Sungguh, terasa asing tapi sudah lama aku tak merasakan ini.
“Bagaimana kuliahmu? Di sekolah baru?”
“Ceritakan padaku, bagaimana kau bisa sampai di kota ini? Hingga menemuiku?”
“Aku ayahmu.”
“Alby…”
“Panggil aku, dad.”
“Entahlah.”
“Kau lupa perkataanku? Aku akan selalu ada dimanapun kau berada. Aku selalu tahu tentangmu, apa yang kau lakukan dan siapa kekasihmu.”
“Siapa?”
“Anak pengusaha kecil itu, musuhku.”
“Musuhmu?”
“Hady.”
“Ia musuhmu?”
“Yang sering terserang penyakit jantung. Itulah musuhku.”
“Bagaimana bisa?”
“Ibumu-pun membencinya.”
“Aku benci perkataanmu, Alby.”
“Ya, karena kau mencintai anaknya.”
Aku benar-benar kesal sekarang. Kehadiran ayah membuat kacau pikiranku. Benar apa yang dikatakan ibu. Aku sedikit membencinya, namun ia ayahku.
“Lupakan semua, Aeshaa. Ajak aku ke tempat favoritmu.”
“Tempat favoritku adalah negeri kelahiranku.”
“Maksudmu?”
“Pulanglah.”
“Aku ayahmu.”
Selalu kata-kata itu yang ia ucapkan seringkali bertemu denganku. Aku meninggalkannya sendirian di tempat pertemuan kami tadi. Aku segera bergegas masuk ke dalam untuk menyelesaikan semua keperluanku. Ke perpustakaan, kelas, bertemu senior meminta pengarahan.
Setelah kembali, Alby tetap pada posisinya. Berdiri menyandar di bawah pohon namun ada sesuatu yang amat kubenci dimulutnya.
Kutarik sebatang rokok yang ada di mulutnya, kubuang ke bawah dan kuinjak dengan perasaan kesal.
“Hentikan perbuatan bodohmu, Alby!”
“Hey, apa maksudnya?”
“Ini Paris!”
“Apa salahnya aku menghisap rokok di Paris? Dimana saja sesuka hatiku. Tak ada peraturannya, bukankah begitu?”
“Hidupmu tak beraturan!”
“Aeshaa, slow down. Kau mirip sekali dengan ibumu.
“Aku anaknya.”
“Kau juga anakku.”
 “Terserah.”
Akhirnya kami berdua pergi ke kedai kopi dekat kampus. Kami berbincang disana walaupun sesering mungkin kami bertengkar. Tujuan kedatangan ia ke Paris hanya untuk mengawasiku. Ya, itulah kelebihan ayah, selalu memperhatikanku setiap saat tanpa sepengetahuanku.
Ia mengetahui semua tentangku. Terutama hubunganku dengan Hady. Ia tidak menyetujui hal itu. Hady anak yang baik, tetapi ayahnya tidak. Begitu dikatakannya. Jika ibu tahu, ia akan mempunyai pemikiran yang sama dengan Alby. Karena ayah Hady telah membuat hancur usaha Alby dan hubungannya dengan ibu. Aku sangat terkejut. Ternyata yang dibenci oleh Ibu selama ini adalah ayah Hady. Aku baru saja mengetahui hal ini tentunya dari ayah. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku mencintai Hady, dan aku tidak ingin hubunganku dengannya hancur hanya karena latar belakang kedua orang tua kami. Entahlah. Aku tak sanggup memikirkan hal bodoh ini.

.Tears of Rain on July.✿ 
 
“Hey, Rain! Ada yang ingin bertemu denganmu.”
“Siapa?”
“Tentu saja Alee.”
“Apa maksudmu?”
“Hahahaha. Aku hanya bercanda Rain. Kapan kau kembali ke negerimu?”
“Empat bulan lagi.”
“Cepat sekali. Aku belum sempat mengenalkanmu dengan Alee.”
“Untuk apa? Kami satu universitas, satu apartemen, dan aku bekerja di tempatnya. Pertemuan pertama di depan kamarku, itu sudah cukup.”
“Tapi, tak ada perkenalan diri kan? Maka tak berteman.”
“Ia tahu namaku?”
“Tentu saja.”
“Itulah awal perkenalan. Tak kenal nama, berarti bukan teman.”
“Pepatah apa itu?”
“Pepatahku. Baru saja beberapa detik yang lalu kuciptakan.”
Lagi-lagi Haneya menggangguku. Apa maksudnya memperkenalkan dengan kakak lelakinya, sedang aku sudah mengenalnya walaupun tidak pernah ada perbincangan inti. Hanya sekedar say hello dan senyum. Senyumpun sangat jarang kuberikan padanya. Kurasa itu hal yang sangat tidak penting.
*Text Chatin’*
“Hey, Rain. Apa kabar, aku merindukanmu.”
“Hey, Hady. Aku baik dan sangat merindukanmu. Bagaimana denganmu? Empat bulan lagi aku kembali.”
“Benarkah? Wow, hebat. Aku akan menanti kehadiranmu kembali. Bagaimana acara pesta kelulusan disana? Mengasyikan bukan? Pasti sangat keren! Paris Theme Party, hmmm. Aku penasaran. Mengapa belum kau upload semua foto dan rekaman acaramu. Tapi, tidak lupa aku memamerkan Fire Work Graduation Party of Our University. Keren!”
“Really? Jangan membuatku iri. Tapi, aku akan memamerkan acara kelulusanku secepatnya. Tunggu aku kembali, dear! Hahahaha. Pasti sekarang kau sedang menggigit jari, telinga panjang.”
“Apakah ada kembang api?”
“Tentu. Dan itu diwajibkan, sayang.”
“Hahahaha. Kau sangat berlebihan, sayang. Oh, iya. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu.”
“Apa?”
“Ny. Helijha.”
“Ibuku?”
“Sampai detik ini, kau belum membicarakan tentang hubungan kita padanya?”
“Ya.”
“Aku bertemu dengannya saat aku membeli disk baru di toko kaset. Ia menyapaku. Ia sangat baik, sama sepertimu, bersahabat. Tapi akhirnya membuatku hancur.”
“Hady?”
“Ia tidak menginginkan hubungan kita. Jika tak sebatas teman.”
“Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.”
“Mungkin kini saatnya aku memberitahukan semua padamu.”
“Hady, jangan membuatku menangis.”
“Kali ini aku akan membuatmu menangis. Maafkan aku, sayang. Karena aku telah menyakitimu.”
“Kau mengerti, aku adalah lelaki berdarah Italia. Dan itu berasal dari kakekku, menurun ke ayahku. Tetapi, genetikku lebih dominan pada ibuku. Suatu masalah yang dihadang oleh keluargamu. Itu karena ayahku. Ayahku kejam dan keras kepala, itulah alasan mengapa aku tak ingin hidup serumah dengannya. Mulai aku duduk di bangku sekolah menengah atas, aku memilih untuk hidup sendiri. Kadang dengan pamanku. Dan aku sangat membenci ayah. Ayahku mantan mafia.”
Aku sejenak terkejut, dan nafasku seakan berhenti mengikuti detak jantungku yang entah mengapa tak bekerja sesaat. Aku mencoba mengambil nafas pelan-pelan dan semakin lemah.
“Ayahku yang menghancurkan keutuhan keluargamu. Tapi, tak kusangka yang kujadikan kekasih adalah anak dari musuh ayahku. Aku tak mengerti apa jadinya jika ayahku tahu. Mungkin aku akan dibunuhnya. Itu bukan suatu masalah. Yang tidak aku inginkan adalah ketika ia mencoba membunuhmu. Aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Hubungan kita telah berjalan hampir sembilan tahun. Aku ingin melamarmu setelah kau kembali. Entah bagaimana caranya, walaupun aku akan mendapatkan terror pembunuhan dari ayahku. Maafkan aku, aku tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya padamu. Aku tidak ingin membuatmu kecewa, aku terpaksa mengatakan ini. Karena aku harus menuruti perkataan ibumu. Kemarin, saat di toko kaset, ia memohon padaku agar aku menjauhimu. Tapi kutolak tawaran itu. Tetapi yang tak kusangka, ternyata ayahku mengetahui semua hal ini. Ia mengancam ibumu dan ia mengeluarkanku sebelum aku mengurus kelulusan. Aku hancur dan kacau. Ini adalah dendam yang mendarah. Tak akan pernah hilang sampai akhirnya ayahmu yang mati, atau ayahku. Aku mencoba membunuh ayahku. Tapi ia ayahku, Aeshaa.”
“Hady, kau tidak akan memutuskanku?”
“Tidak akan pernah, sayang. Aku menyayangimu.”
“Beberapa waktu yang lalu, ayahku datang ke Paris. Ia menceritakan latar belakang keluargaku dan keluargamu. Aku tak pernah menyangka selama bertahun-tahun ini aku menjalani hubungan denganmu, namun terdapat halangan. Aku benci hidupku, Hady. Aku akan membunuh diriku, sebelum ayahmu membunuhku.”
“Hey, sayang. Hentikan perkataan bodohmu. Aku ada bersamamu.”
“Tak seperti yang kau bayangkan.”
“Aku akan melamarmu setelah kau kembali kesini. I promise.”
*End chatin’*
Aku benar-benar hancur. Tak ada lagi setetes semangat yang mendarah di tubuhku. Aku menangis begitu keras, membanting semua yang ada di depanku. Aku tak tahu harus kehilangan ayah, ibu ataukah Hady? Lebih baik aku pergi meninggalkan dunia ini walaupun tidak ada ketenangan dan kedamaian. Aku benci hidupku, aku benci hidupku, dan aku benci hidupku. Tidak ada hal apapun yang dapat kulakukan. Aku harus kembali secepatnya. Aku tidak peduli dengan penyelesaian sekolahku di Paris. Aku segera memesan tiket penerbangan. Dan bergegas menyiapkan pakaian dengan isakan tangis yang tiada hentinya. Yang ada dalam pikiranku hanya Hady, hampir aku melupakan keadaan ibu. Aku merapikan semua walaupun pada kenyataannya terlihat sangat kacau.
Escuse me?” seseorang dibalik pintu menyapaku.
“Apa yang ingin kau lakukan, Alee.”
“Pintumu terbuka, aku hanya ingin mengingatkanmu agar menutupnya kembali.”
Aku segera menutup pintu itu tanpa berkata apapun padanya. Aku sama sekali tidak peduli. Aku segera bergegas keluar membawa koperku. Pergi menuju tempat kerjaku, yaitu tempat dimana aku akan izin kepada Ny. Murry dan anaknya, Haneya, untuk kembali ke negeriku.
Keberangkatan pukul delapan malam. Keadaanku yang tergesa-gesa dan waktu yang membunuhku. Tangisan tak lepas dariku. Apapun yang sekarang aku lakukan menjadi kesedihanku.

.Tears of Rain on July.✿ 
 
“Aeshaa?”
Mum.” Aku memeluk tubuhnya yang sangat hangat. Kerinduan yang mendalam dan tak pernah kurasakan selama empat tahun ini.
“Kau kembali tanpa memberitahukan padaku sebelumnya. Apa maksudmu? Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu, sayang. Sudah hampir satu bulan ini, kau tak pernah menghubungiku.”
“Aku merindukanmu, Mum. Izinkan aku menikah dengan Hady.”
“Aeshaa?”
“Ibu, aku mohon. Aku akan berusaha menghindari dari ancaman itu.”
“Hady memberitahukan semuanya?”
Mum, please, dengarkan aku dan turuti kemauanku sekali ini saja.”
“Aeshaa, semua tak semudah yang kau bayangkan. Aku menyayangimu. Aku tak ingin hal buruk terjadi padamu. Dengarkan aku, dan percayalah padaku. Aku ibumu, aku mengerti perasaanmu. Tapi ini hal yang beresiko.”
“Aku mencintai Hady, begitupun ia. Aku akan menerima resikonya. Aku menanggung semua, bu. Aku tak mungkin tak menikah dengannya.”
“Itu mustahil, Rain!”
Kemudian aku menunduk dan menangis. Aku menjatuhkan tas yang masih kugenggam. Aku kalah. Aku diam dan meninggalkan ibu. Kujatuhkan badan ini ke atas ranjang berselimut hitam. Aku menatap langit-langi dan melihat lampu bohlam yang menggantung di atas sana. Kemudian kulempar dengan walkman yang ada di sebelah kananku. Dan, pecah. Suara pecahan yang mengagetkan Rania, hingga ia masuk ke dalam kamarku.
“Apa yang kau lakukan?”
“Kira-kira apa?”
“Aku sudah memecahkan bohlam itu hampir lebih dari seratus kali. Kau merusaknya kembali.”
“Kau pikir aku perduli?”
“Seharusnya begitu.”
Aneh. Ada sesuatu yang aneh dan tidak biasanya pada Rania. Biasanya ia selalu mengeluarkan kata-kata kasar padaku atau bermain kekerasan layaknya preman. Ia juga tak memasang wajah nenek sihir yang membuat tanganku ingin melempar asbak rokok tepat ke depan hidungnya.
Rania memandang wajahku memasang muka yang sok simpatik.
“Aku putus.”
“Itu bukan urusanku. Dan sejak kapan aku mengetahui kau mempunyai kekasih hingga sekarang kau mengatakan hubunganmu kandas.”
“Rain! Aku kakakmu!”
“Bukan. Kau adalah orang yang selalu menghancurkan kebahagiaanku di rumah ini.”
“Enyahlah!”
Entahlah, Rania adalah wanita yang sangat aneh yang pernah kutemui. Memuakkan namun setidaknya aku cukup puas menghancurkan lampu bohlam sialan itu.

.Tears of Rain on July.✿ 
 

*Callin’*
“Hady, bagaimana harimu? Kedai kecil jam empat sore. I love you.”
*End call*
Lagi-lagi aku menunggu Hady hampir tiga perempat jam dengan perasaan cemas. Aku merindukannya. Empat tahun tak bertemu. Dan kini mulai klimaks, aku tak sabar menanti kehadirannya. Kutengok kembali arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, tetapi tak kunjung datang. Dan handphoneku bordering.
“Hey, cantik. Maafkan aku, aku tidak bisa datang ke kedai hari ini. Aku harus mengantar ayahku check up ke rumah sakit. Kau tahu, aku tak mungkin membiarkan ia berangkat sendirian. Ia membutuhkanku.”
“It’s okay, darl. I miss you.”
Hari yang buruk dan amat sangat buruk. Kedatanganku sepertinya sia-sia. Tidakkah Hady merindukanku? Atau ia tak mempedulikanku? Mungkin aku harus chek ke psikiater. Ada gangguan kejiwaan dalam diriku. Sangat sempurna!
Sampai di rumahpun, Hady tidak menghubungiku. Sesekali kuhubungi, telepon selularnya tidak aktif, terkadang meninggalkan pesan. Aku merasa kehilangan dia. Kehilangan sosok yang selalu memperhatikanku dan menyayangiku. Ini tak selamanya, mungkin hanya sesaat.
Telepon selularku bordering. Hady memanggilku.
“Aeshaa, pesisir pantai, sekarang. Aku tinggu.”
Aku terkejut dan segera mengambil jaketku lalu meninggalkan rumah. Berlari ke luar dalam keadaan basah terguyur hujan. Aku mengelabui air mataku dengan guyuran air hujan yang membasahi pipiku. Berlari sampai akhirnya aku tiba di pesisir pantai. Kulihat disana seseosok lelaki berdiri mengenakan jaket yang sangat kukenal. Ya, Hady.
“Hady?”
“Aeshaa.” menangis.
“Hey, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis, sayang?”
“Aku harus meninggalkanmu.”
“Jangan bercanda, bodoh!”
“Aku serius.  Aku benar-benar harus meninggalkanmu. Malam ini aku berangkat ke US. Aku harus tinggal di sana, selamanya.”
“Hady! Tindakan bodoh apa yang kau lakukan.”
“Ancaman ayahku, yang benar-benar akan diIakukan. Aku tak ingin terjadi hal buruk padamu.”
“Aku akan jauh lebih buruk, jika tidak ada kau!”
“Aeshaa, dengarkan aku.”
“Aku benci kau!”
Hady memelukku dan mengusap rambutku lalu mencium keningku. Aku menangis tiada henti. Kesempurnaan yang kuharapkan menjadi akhir yang sia-sia. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya menangis yang kutangguhkan.
 
.Tears of Rain on July.✿ 
 
Pagi ini tak begitu cerah kiranya. Bangun di pagi hari yang mendung dan kalbu. Keabuan menyantap langit dan awan di atas sana. Entahlah, aku mempunyai sekian tanggung jawab yang kuhancurkan. Aku tak mengerti artinya hidup. Aku hanya menanti sebuah keajaiban yang dapat membuat hidupku kembali normal. Aku tahu jawabannya. Hady.
Kehilangan seorang yang selalu menjadi pedoman hati rasanya begitu mati. Aku tak mengenal arti sabar. Kuperlihatkan, hanya kepada Mum. Rania yang kini menetap di rumah sakit jiwa karena gangguan kejiwaan yang menyerangnya. Ia harus mendapatkan perawatan khusus. Mengapa bukan aku saja? Aku tidak mengerti jalan cerita ini. Benar-benar tidak mengerti.
“Rain, ada yang ingin bertemu denganmu.” ucap Ibu.
“Siapa?”
“Seorang lelaki.”
Sangat menarik, aku berharap kehadiran Hady yang menjemputku.
“Hey, Aeshaa.”
“Alee?”
“Ternyata kau masih mengingatku? Syukurlah.”
“Perbincangan kedua kalinya. Masuklah.”
“Terimakasih. Bagaimana kabarmu?”
“Buruk.”
“Bagaimana bisa?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Maaf.”
“Lupakan.”
“Sejak kapan kau kembali dari Paris?”
“Bulan Juli lalu.”
“Juli?”
“Ya. Kau dan aku satu pesawat.”
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
“Aku duduk di kursi tepat di belakangmu. Kau menangis.”
“Itu tidak penting.”
Tersenyum, “Baiklah. Lain kali kita bertemu lagi.”
“Jika Tuhan menghendaki pertemuan kita, namun aku tak berharap demikian.”
“Baiklah, aku harus pulang. Terimakasih.”
“Mengapa terlihat terburu-buru?”
“Sepertinya ada seseorang yang tidak mengharapkan kehadiranku.”
“Aku?”
Tersenyum, “Mungkin. Lain kali kita bertemu.”
Alee datang dan kembali pergi tanpa alasan yang pasti. Tak kusangka ia datang ke rumahku. Apakah ia hanya memata-mataiku? Kehadiran yang tak diharapkan. Lelaki asing dan aneh.
Mum memanggilku dan melontarkan pertanyaan konyol tentang kedatangan Alee. Ia tak mengerti luka yang ada di hatiku ini. Aku tak mungkin menerima lelaki manapun. Bahkan jika ada cloning dari Hady. Jiwaku seakan mati. Aku mengharapkan kehadirannya kembali jika itu adalah hal yang mustahil. Aku tak dapat melakukan hal apapun kecuali merenungkan nasib burukku di kamar. Dan sendiri. Aku akan keluar rumah jika di luar sana turun hujan. Atau aku melentangkan tubuhku di atas pasir berbisik mendengar deburan ombak dan merasakan bau harum tubuh Hady. Kemudian memejamkan mata dan menangis tentunya. Aku cengeng. Senjataku hanya menangis. Menunggu ketidakpastian yang membunuh waktuku. Mengunyam kebahagiaanku.
            Keesokkan harinya, Alee menghubungiku. Ia memintaku agar menemuinya di restauran jam tujuh malam. Aku menolaknya, namun ia memohon dengan keras. Kali ini aku kalah dengan egoku. Aku tak mengerti apa maksudnya. Segitu bodohnya kah aku menuruti kemauannya? Ternyata aku benar-benar bodoh. Kurapikan simple dress berwarna cream ini. Dan menyisir rambutku yang terlihat payah sebelumnya.
Kulangkahkan kakiku menuju mejanya. Ia memandangku dan tersenyum.
“Hey, bagaimana harimu? Silahkan duduk.”
“Membaik, terimakasih.” kutarik kursi dan kududuk di hadapannya.
“Kau terlihat sangat cantik.”
“Itu konyol.”
Tersenyum, “Baiklah. Bagaimana kabar Helijha?”
“Bagaimana kau bisa mengenal ibuku?”
“Kami berkenalan, saat aku datang ke rumahmu, Rain.”
“Panggil aku Aeshaa.”
“Maaf, Aeshaa maksudku.”
Aku dan Alee berbincang sambil menyeruput seangkir Coffe Late dan Cappucino. Membicarakan hal yang menurutku sangat tidak penting. Aku tidak mengharapkan kejadian seperti ini. Tiba-tiba Alee diam dan memandangku. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Merah. Ya, kotak berwarna merah. Aku tertegun melihat kotak kecil itu, menahan nafas sejenak dan memandangnya. Alee melamarku. Ia mengatakan betapa ia sangat mencintaiku. Mustahil! Aku benci adegan ini. Lalu ia membuka kotak merah itu dan cincin berwarna silver dengan kilauan mewah dan berlian biru di atasnya.
“Aeshaa, would you marry me?”
Pertanyaan konyol! Aku benci saat-saat seperti ini. Ini yang kunantikan jika aku bersama Hady. Hady melamarku, bukan Alee. Mengapa Tuhan terlihat sangat tidak adil? Mengapa bukan Hady yang melamarku? Mengapa lelaki yang tidak kucintai melamarku?
Di saat seperti ini, aku tak dapat mencurahkan perasaan kacauku kepada Hady. Mengapa Hady meninggalkanku? Mengapa sekarang aku tak dapat menghubungi Hady? Mengapa ia menghilang?
Penuh tanya, bahkan aku tak dapat mengendalikan diri. Aku terdiam.
“Aku tidak memaksamu, Aeshaa.” ucapnya penuh perasaan kecewa.
“Tak semudah itu, Alee.”
“Aku tahu, kau perempuan yang masih sangat mencintai kekasihmu. Kau tak semudah ini menerimaku. Kau perempuan baik dan setia. Aku tahu semua. Tapi Hady telah meninggalkanmu, Aeshaa.”
“Hentikan omonganmu! Kau tidak tahu apa-apa tentang aku, begitupun Hady, kekasih yang amat sangat aku cintai.”
“Maafkan aku, Aeshaa. Aku tak bermaksud seperti itu. Dengarkan aku, aku menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu. Kau adik kelasku dan aku seniormu. Tapi aku tak berbuat apapun. Dan tak ada seorangpun yang tahu. Aku menahan semua perasaanku. Tepatnya, aku mengetahui berakhirnya hubunganmu dengan Hady. Aku mulai memberanikan diri. Aku tak ingin banyak bicara, Aeshaa. Jika kau tak mau, it’s okay. Aku tak memaksa.”
“Lupakan semuanya, Alee. Maafkan aku.

.Tears of Rain on July.✿ 
 
“Aku menyukai Alee, Rain.” ucap Ibu sambil mengaduk cokelat hangat untukku.
“Maksudmu?”
“Ia anak yang baik, tampan dan kaya raya.”
“Seperti pangeran yang hidup di istana kerajaan dan digemari banyak wanita?”
Perfect!”
“Hahahaha. Dongeng bodoh macam apa. Baiklah, kemudian aku adalah snow white dan kau ibu tiri. Kemudian kau menyukainya dan menikahinya. Keren!”
“Hey, apa yang terdengar keren?”
“Hahaha. Cukup bu, perutku sakit.”
“Kau sudah gila, Rain. Minumlah ini.”
“Tapi, ibu tidak menaruh bubuk racun ke dalam minumanku kan?”
Ibu melemparku dengan sepotong roti yang sudah digigitnya. Aku tertawa. Suasana hangat sudah dapat kurasakan kembali walaupun bekas luka yang menggores masih belum hilang. Ia selalu membahas tentang Alee. Aku tak mengerti mengapa demikian. Aku memberitahukan ibu jika aku telah dilamarnya, namun kutolak. Ibu membujukku layaknya anak kecil menginginkan robot baru di toko mainan. Ia mengharapkan pernikahanku dengan Alee. Aku tak dapat mendustakan semua ini.
“Mum, I don’t love him.”
“Try to love him. Aku percaya padamu. Buatlah aku bahagia.”
“Tapi aku tak akan bahagia.”
“Rain!”
“Kau selalu memaksaku.”
“Aku tak memaksamu. Aku mengerti apa yang kau butuhkan. Demi kebaikanmu. Aku tak ingin melihatmu seperti orang gila yang tak tahu kemana arah hidupnya.”
“Aku memang gila!”
Aku kehilangan arah. Aku membencinya disaat ia mengatakan hal tersebut. Hubunganku dengan Hady. Ia memang meninggalkanku. Tapi, tak akan pernah tertinggal untuknya. Aku mati untuk mencintainya. Akupun gila karena mencintainya. Mengapa aku merasa begitu terusik. Kekangan yang akan membuatku sama seperti Rania. Mungkin aku akan menyusul Rania.
“Rain, maafkan aku. Aku hanya tak ingin melihatmu berlarut-larut dalam kesedihan. Memikirkan Hady. Aku tahu kau tidak bisa melupakannya, aku sangat mencintainya. Aku tak ingin kau seperti Rania. Gila karena cinta. Kau akan bahagia dengan Alee. Hady tak akan pernah kembali.”
“Aku harus memikirkan itu semua, Mum.”
Aku tak ingin memikirkan hal ini. Kepalaku rasanya mau pecah. Yang ada dibenakku hanya Hady. Harapan yang selalu ada dari dalam diri ini. Berat menanggung beban ketidakpastian, menunggu kehampaan dan tidak dapat menerima kenyataan.
Kuputuskan untuk pergi ke luar menemui Anna, sahabatku. Kami berdua menghabiskan waktu untuk shopping dan datang ke acara pameran buku di Grand Paramount. Guna melepas beban dan menghilangkan pikiran kacau yang ada di otakku. Menyenangkan, walaupun sesekali aku teringat Hady karena melewat tempat-tempat favorit kami berdua. Belum sampai ke rumah, telepon selularku bordering. Alee. Sekarang ia berada di rumahku, seperti kebingungan mencari keberadaanku.
Kemudian kami bertemu.
“Apa yang kau perlukan, Alee?”
“Hanya ingin bertemu denganmu.” Menyeruput teh hijau yang dibuat oleh Ibu.
“Ya, aku mengerti.”
“Kau tak pernah mengetahuiku sebelumnya?”
“Tidak.”
“Aku mantan kekasih Rania, kakakmu.”
Hal aneh apa lagi yang membuatku terkejut? Benar-benar gila!
“Berapa lama kau menjalani hubungan ini?”
“Lima tahun, dan kandas ketika aku di Paris dua tahun yang lalu. Ternyata, kau perempuan yang kurang perhatian, terutama dengan keluargamu.”
“Kau mengetahui semua?”
“Rania.”
“Apa saja yang ia ceritakan padamu?”
“Semua tentangmu.”
“Hey, aku serius!”
“Aku menyukainya, namun tidak mencintainya. Aku mencintaimu. Karena tak ada usaha yang dapat kulakukan melihatmu begitu manis bersama Hady, aku menjadikan kakakmu sebagai kekasihku.”
“Hey, brengsek! Kau mempermainkan Rania!”
“Aku tak bermaksud seperti itu, Aeshaa. Maafkan aku. Please, dengarkan aku?”
“Kau adalah wanita pertama yang aku suka dan aku cinta. Tapi, aku tak meyakini hal itu. Kau dan Hady. Aku tidak dekat denganmu, tak mengenalmu, bagaimana aku bisa mendekatimu. Mustahil! Lagi pula kau sudah lama sekali menjalani hubungan dengan Hady. Aku tak mungkin mengganggu. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku kehilangan banyak cara untuk mendapatkanmu. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjadikan Rania sebagai kekasihku. Aku belajar mencintainya. Aku sayang padanya.
Kau tahu mengapa aku meninggalkan Rania? Ia menghianatiku, berselingkuh dengan lelaki lain. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kuputuskan ia.”
“Kau Alex?”
“Ya, panggilan sayang Rania.”
“Kau tahu sekarang Rania tinggal dimana? Ia sakit jiwa karena ulahmu!”
“Hey, bukan ulahku. Dia yang membuatnya sendiri. Aku tak tahu menahu. Aku berusaha membuatnya bahagia, tapi ia memaksaku untuk tunangan dengannya. Sedangkan ia mengandung bayi hasil perbuatan dengan selingkuhannya walaupun ia menggugurkannya. Kau tak mengerti perasaanku. Aku hancur.”
Buruk. Benar-benar buruk. Aku tak menyangka hal ini terjadi pada Rania. Benar, aku tak pernah perhatian dengan keluargaku.
Dan Alee adalah Alex. Penyebab kehancuran Rania. Tapi tak sepenuhnya aku mengetahui semua.

.Tears of Rain on July.✿ 
 
Paris. Aku kembali ke kota dimana aku bersekolah disana. Aku harus menyelesaikan semua urusanku dengan sekolah yang kutumpangi hampir empat tahun itu. Berkas-berkas dan beberapa buku yang masih kutinggal di apartemenku masih tetap pada tempatnya. Lelah rasanya. Kulentangkan tubuhku ke atas kasur agak penuh debu. Kupandangkan mataku ke arah langit-langit. Baru setengah mata ini kupejamkan, handphoneku bordering tanda pesan masuk. Lagi-lagi nomor yang tidak kukenal.
“Café de Paris, Eiffel. Jam tujuh malam. Hady.”
Jantungku berdebar lebih cepat. Berulang kali kubaca pesan itu. Tak kusangka jika pesan itu benar-benar dari Hady. Aku tak sabar menanti dua jam lagi. Aku segera merapihkan semua disekitarku. Terutama keadaanku yang sangat kacau.
Aku mengenakan dress berwarna magenta dan sedikit kujepit rambutku ke belakang tak lupa hak berwarna silver dan lip gloss di bibirku. Kulihat wajahku di depan cermin lalu tersenyum. Entah mimpi atau kenyataan yang sedang menghadang diriku.
Kulihat sosok lelaki mengenakan kaos berwarna cokelat tetapi bentuk tubuh yang tak biasanya kukenal. Aku mengecilkan mata dan berusaha menghampirinya. Lelaki itu membalikkan badannya dan menatapku.
“Aeshaa?”
“Alee?”
“Bagaimana bisa kau kembali ke Paris?”
“Kau mengirim pesan padaku, dua jam yang lalu?”
“Tidak.”
“Baiklah.”
Aku menghela nafas. Dan semua yang telah kuharapkan hancur di depan mata. Entah aku harus tersenyum atau menangis. Tak peduli siapa pengirim pesan sialan itu. Aku mencoba duduk sejenak di kursi besi berwarna putih. Aku menatap wajah Alee. Kesal, dan tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Aku menangis entah mengapa air mata ini mengalir di pipiku. Alee menatap balik dengan perasaan iba. Ia menarik tanganku dan menuntunku untuk berdiri dihadapannya. Ia mengusap air mataku dengan kedua tangannya. Aku tak dapat berbuat apa-apa.
“What happen?”
“Lupakan semua.” jawabku.
Ia masih berdiri di depanku. Tak mengerti apa yang akan ia perbuat. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Ya, kotak kecil berwarna merah yang pernah aku lihat sebelumnya. Ia menundukkan kepalanya seakan berharap cincin kecil itu jadi milikku.
“For the second time. Would you marry me?”
“Alee…”
“Kau yakin tidak mengirim pesan padaku?”
“Tentu. Aku tidak mengerti akan kehadiranmu. Masalah kotak kecil ini, aku selalu membawanya setiap saat. Dan aku berharap disaat aku bertemu denganmu, aku akan melamarmu.”
“Oh, God. Please.”
Hancur. Hampir terlihat sangat berantakan. Perasaan yang mencabik hingga aku terbungkam tapi tak kuat. Apa yang harus kukatakan? Terdengar ribuan suara di telingaku. “Aku mencintaimu, Rain.” “Kita akan menikah, secepatnya.” “Rain, aku tak ingin hal buruk terjadi padamu jika kau menikah dengan Hady.” “Kau tak mungkin menikah dengannya, percayalah padaku, aku ayahmu, Aeshaa.” “Alee begitu baik, aku menyukainya, Rain.” “Kalian akan menjadi pasangan yang serasi, Hady.” “Aku merindukanmu, Sun.” “Hey Rain, jangan pernah tinggalkan aku.”
Berulang kali aku membenci hidupku. Aku tak akan membiarkan ini terjadi. Lebih baik aku mati atau dipenjara. Aku tak akan pernah meninggalkan Hady, tapi ia meninggalkanku.
“Ya.”
“Kau menerima tawaranku?”
“Yes.”
Alee memasukkan cincin itu ke lingkar jari manisku. Bukan Hady, tetapi Alee. Ya, ia tersenyum sedangkan aku menangis di dalam hati. Aku menahannya dan memberikan senyuman palsu. Kemudian ia memelukku. Saat aku berada dalam pelukkannya, aku membuka mata dan melihat ke arah depan. Aku terkejut melihat Hady berdiri dari kejauhan tepat di depanku. Ia berdiri seakan kalah dari peperangan. Badannya terlihat sangat kurus dan lesu. Ia menatapku dengan uraian air mata dan bibir tertutup. Ia terlihat sangat kacau. Jaket kesayangannya yang amat kukenal basah tersiram air hujan yang sedang turun di luar sana. Aku menangis dan menatapnya. Kulepaskan pelukkan Alee, dan memanggil Hady. Alee melepas pelukkanku dan berusaha menahanku. Aku berteriak memanggil namanya, Hady. Tapi ia pergi begitu saja. Aku berlari mengejarnya. Alee mengikuti langkahku dan menarik tanganku. Aku memohon padanya agar aku dapat bertemu Hady.
“Hady, please dengarkan aku.”
“Apa yang harus kau katakan padaku hingga aku harus mendengarkanmu?”
“Aku merindukanmu.”
“Secepat itu kah kau mengatakan bahwa kau rindu padaku?”
“Aku hancur.”
“Aku jauh lebih buruk dari itu.”
“Menikahlah dengannya.”
“Aku tak mungkin melakukan itu.”
“Tapi kau akan melakukan itu.”
“Hady, aku mencintaimu!” kupegang pipinya dengan kedua tanganku.
“Tapi aku telah kehilangan cintaku.” melepas tanganku.
“Kau hilang meninggalkanku!”
“Aku kembali, tapi kau menghilangkan semua!”
“Hady!”
Ia pergi meninggalkanku. Aku berusaha mengejarnya, tapi tiba-tiba Alee menarik tanganku dari belakang. Ia memelukku dalam keadaan aku menangis. Aku berharap tidak terjadi dan sayangnya semua sudah terjadi.
Alee mengantarku pulang ke apartemen. Malam ini ia tidur bersama ibunya di Helmut Newcake, tempat aku bekerja dulu.
“Istirahatlah. Aku tidak memaksamu masalah pernikahan. Buanglah cincin itu jika kau ingin membuangnya. Aku akan membatalkan semua. Aku sangat mencintaimu namun kau tidak mencintaiku. Aku terlalu berharap lebih. Good night.”
“Alee…”
“Ya?”
“Lupakan kejadian tadi.”

.Tears of Rain on July.✿ 
 
Aku kembali ke kota kelahiranku. Kondisiku yang semakin melemah. Tak ada hal lain yang dapat kulakukan selain membaringkan badanku di atas pasir pantai, mendengar deburan ombak dan pasir bersisik. Angin membantu membuang pikiranku. Memejamkan mata dan mengarahkan pandanganku ke atas langit. Ombak air laut yang membasahi kakiku. Tempat yang sangat sempurna dimana aku menghabiskan waktu bermainku bersama Hady. Bisikan suaranya menghantuiku hingga aku merindukan ucapan kasih sayangnya. Kemudian aku menangis dan menangis lagi. Kadang terdengar langkahan kakinya, aku menengok sekejab, tapi hanya khayalan belaka. Jika Tuhan menunjukkan keajaibannya, entah apa yang akan kulakukan untuk menunjukan rasa kebahagiaanku dapat hidup bersamanya. Dan semua itu hanya mimpi. Aku menyerah dan kalah.
Tiba-tiba Alee datang dan duduk disampingku. Aku tak menghiraukan kehadirannya. Ia menatapku dan diam. Aku tak menoleh sedikitpun.
“Maafkan aku, Aeshaa.”
“Bukan salahmu.”
“Aku akan membantumu, agar kau dapat kembali bersama Hady. Aku akan mengabulkan apa yang kau inginkan. Termasuk aku mati. Aku pengganggu, penghancur impianmu.”
“Mustahil. Kau tak salah, Alee. Hady meninggalkanku.”
“Tapi ia berusaha kembali padamu. Ia rela mati, walaupun ayahnya akan membunuhnya jika ia bersamamu.”
“Kau tahu apa?”
“Aku mengenal keluarganya. Siapa yang tidak tahu ayahnya? Apakah ia menjadi penghalang hubunganmu dengan Hady. Selama ia menjalani hubungan dengan kau, ia mempunyai banyak rintangan untuk melawan ayahnya yang sangat kejam. Tapi pada akhirnya ia kalah.”
“Aku pembicaraanmu.”
“Maafkan aku, selalu membuatmu menangis, Aeshaa.”
“Kita akan menikah.”
“Maksudmu?”
“Kau dan aku menikah.”
“Aeshaa?”
“Kau tidak mencintaiku. Kau akan menikah dengan Hady. Hady adalah impian terbaikmu. Bukan aku.”
“Aku tidak akan menikah dengannya. Aku menikah denganmu.”
“Kau tidak mencintaiku.”
“Aku belajar untuk mencintaimu.”
Keputusan yang sudah bulat. Kuucapkan begitu saja walaupun hati ini tetap tertulis nama Hady. Aku tidak mencintai Alee. Sedikitpun tidak. Harapan yang sudah hancur, semakin hancur. Aku memberitahukan semua ini kepada Ibu. Aku juga akan memberitahukan hal ini kepada Rania juga Hady. Aku tidak mengerti mengapa memutuskan semua ini dengan berat hati.
Alee terlihat begitu senang. Tapi kondisi yang memaksaku, ia tetap menghargai perasaanku. Walaupun kami akan menikah, tidak terlihat sebahagia pasangan pengantin yang akan menikmati kebersamaan dua cinta yang baru matang.
            Hari ini aku mengunjungi Abn Hospital untuk menjenguk Rania. Memberikan kabar buruk, kabar buruk untuknya juga untukku. Rania duduk di bantalan berwarna putih mengenakan piyama berwarna yang sama. Ia menatapku kemudian menangis. Aku memeluknya. Baru kali ini aku merasakan rasa kasih sayang kakak beradik setelah tahunan lamanya. Yang kami kenal hanyalah bertengkar, bukan pelukan. Kukecup keningnya. Ia menangis, aku mengusap kepalanya.
“Aku akan keluar, Rain.”
“Kau belum sembuh, Rania.”
“Aku sudah sembuh, tapi dokter belum memngizinkanku pulang.”
“Rania, aku akan menikah.”
“Menikah? Dengan Hady?”
“Alex.”
“Alex?”
Rania terkejut mendengar perkataanku. Matanya melotot dan menggenggam bantalan putih yang ada disampingnya. Wajahnya marah memerah. Ia berusaha menyerangku, melempar semua bantal yang ada disekitarnya. Aku menangkis dan menahan tangannya kemudian kutarik badannya dan kupeluk. Ia menangis dan berteriak tiada hentinya. Memanggil nama Alee dengan Alex lalu menamparku. Aku diam dan menatapnya. Rania terus menyerangku. Aku hanya bisa menahan serangannya dengan kedua tanganku menutupi wajahku. Perawat segera datang menghentikan Rania dengan memberi suntik penenang. Salah satu dokter disana menuntunku untuk keluar. Ia menjelaskan padaku kondisi Rania yang memang belum sembuh total. Ia mengalami trauma besar, apalagi aborsi yang telah ia lakukan dulu.
Disaat aku sedang berbicara dengan dokter, perawat datang sambil menuntun Rania. Ia sudah kelihatan lebih tenang dari sebelumnya.
“Rain..”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Jauh lebih baik. Menikahlah dengan Alex. Aku menyetujuinya.”
Secepat itu Rania memutuskan. Padahal kondisi yang amat parah menyerang dirinya baru beberapa jam yang lalu. Aku tidak akan pernah tega melihat Rania tersiksa karena cinta. Cinta yang diharapkan tapi termakan olehku. Ini sudah keputusanku dari awal. Dan keputusan kedua yang telah ia ungkapkan. Entah mengapa aku merasa jahat.

.Tears of Rain on July.✿ 
 

          Pernikahan di depan mata. Ya, menikah dengan seorang lelaki yang tidak kucintai. Mengenakan gaun putih yang sangat indah. Rambut cokelatku diikat sangat rapi. Ini bukan hari bahagiaku. Tetapi hari burukku, hingga aku harus menikah dengan Alee, bukan Hady kekasihku. Aku melihat lekukan gaun yang indah ini di depan cermin. Menatap wajahku tanpa senyuman. Air mata yang terus keluar membasahi pipiku. Ibu berusaha menghapus air mataku dan memberikan sedikit polesan bedak ke pipiku. Aku terdiam tak akan pernah mengucapkan satu katapun. Berdiri berdampingan bersama Hady mengenakan gaun pengantin dan ia mengenakan jas hitam, hanya mimpi yang tak akan pernah terjadi.
“Rain, ini hari besarmu. Sebuah pesta pernikahan.”
“Ini hari burukku.”
“Baiklah. Aku mendapatkan ini dari kekasihmu.” sambil memberikan lipatan kertas putih.
“Apa ini?”
“Bukalah.”
“Aeshaa, atau Rain. Kini bukan Sun, Star, Darling, sayang, manis. Hanya Aeshaa. Aku berharap kau akan bahagia hidup bersama Alee, bukan aku. Aku diundang untuk datang ke acara pernikahanmu. Tetapi, aku memilih untuk tidak datang. Itu akan membuatku hancur. Lupakan semua tentang aku, kau, tentunya kita berdua. Selamat.                        -Hady-.“
Ya, surat dari Hady. Aku tak kuat menahan beban yang ada dalam diriku ini. Aku menangis dan terus menangis. Hari besarku adalah hari kesedihanku yang amat pedih.
Aku berusaha kuat menghadapi ini semua. Acara yang kiranya sacral berlangsung begitu saja. Aku tidak menjadi diriku. Aku adalah orang lain yang menikah dengan  Alee. Puluhan orang tersenyum bahagia melihat aku dan Alee. Aku ingin semua ini cepat berakhir. Alee menatapku dan ribuan kali ia meminta maaf padaku. Aku berusaha menyembunyikan air mataku. Alee sangat mencintaiku, tapi aku sama sekali tidak mencintainya. Kini, aku dan Alee adalah sepasang suami isteri.
            Aku merasakan ketidakbahagiaan yang membuat hidupku terasa amat membosankan. Aku masih mengenakan gaun putih yang indah ini dan duduk di atas ranjang menghadap jendela kamar. Ya, menangis. Apakah aku harus melepaskan sepatu cantik ini dan berlari keluar lewat pintu belakang seperti film-film yang ada. Tapi itu semua sudah terlambat. Aku sudah menikah dengannya.
Saat aku termenung, pintu kamar terbuka seakan ada seseorang yang masuk. Aku tak melirik dan tidak penasaran. Karena aku tahu bahwa suara langkah kaki itu adalah Alee. Ya, benar. Ia duduk di sisi ranjang belakangku.
“Aeshaa?”
“Ya.”
“Semua sudah terjadi, aku tak dapat menghentikannya.”
“Tak perlu dihentikan.”
“Kau boleh tidak tinggal bersamaku.”
“Itu tidak mungkin.”
“Seharusnya kau menikah dengan Hady, bukan denganku.”
“Tapi aku sudah menikah denganmu!”
Alee terdiam. Ia merasa sangat bersalah. Aku terlalu kasar padanya. Aku meminta maaf dan ia pergi dari tempat itu.
“Maafkan aku, Alee.” gumamku dalam hati, lalu menangis.

.Tears of Rain on July.✿ 

  Wait for Part 2 :)