Tears of Rain on July
Just because this isn’t reality now, doesn’t mean it
isn’t possible in the future.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
Ketika
aku mengenal apa artinya hidup, disana aku bertemu satu rasa. Cinta. Aku
berharap cinta ini hanya untuk Tuhan. Tapi kurasakan tak demikian. Baiklah,
kini kuberikan kepada ayah bundaku, lalu saudaraku. Kepada siapa lagi? Aku tak
memungkiri akan hal ini. Hal konyol yang membuat hidupku, begitu penuh rasa.
Aku tak begitu tahu apa rasanya.
Aku banyak kehilangan
sosok-sosok yang berharga dalam hidupku. Akankah juga aku merasakan hal ini
sampai akhir hayatku? Aku berharap tidak. Tapi terjadi begitu saja.Oh Tuhan, aku hanya bersujud kepadamu. Menanti beribu jawaban dari sejuta pertanyaan. Apakah ini kesenangan? Kemudian aku harus memberikan senyuman palsu? Aku menangis. Hanya tangis yang membuat dada ini terguyur kesejukkan. Aku tak mampu tersenyum bagai seribu tahun lamanya. Tapi aku mempunyai satu kebahagian apabila aku tak hidup di dunia ini lagi, hanya berharap. Walaupun aku berlumur dosa. Tapi aku akan menebus kebahagiaan itu secepat mungkin. Secepat aku berusaha untuk mencintainya tetapi bukan dia. Perasaan yang belum kukenal sebelumnya. Dan kebahagiaan tidak akan pernah selalu terjadi saat kudapatkan sampai kulepaskan. Disanalah tumbuh kepahitan dan angan-angan. Itulah cinta.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
Hari
ini aku berharap hariku begitu baik dan terasa sempurna. Kuselesaikan semua
pekerjaanku di rumah dan saatnya aku beranjak ke tempat dimana aku menuntut
ilmu. Lelah rasanya tapi ini tanggung jawabku. Aku menyingkirkan guyuran
keringat yang mengalir di dahiku. Baru saja kubersihkan seluruh badanku dengan fruity soap favoritku. Tapi karena waktu
mengejarku, badan ini sudah terasa panas bagaikan berdiri di depan api unggun,
kiranya begitu.
“Aku harus pergi
sekarang, Mum.”
“Mencari ilmu atau
mencari cinta?” senyum Ibu.
“Yang pertama.”
benar-benar pertanyaan yang konyol. Perlukah aku mencari cinta? Aku sudah
punya, buat apa? Rasanya aku sombong sekali. Tapi aku merahasiakan ini di depan
Ibu.
“Rain, hari ini kau
kembali ke rumah jam sepuluh malamkah?” sindir Ibu.
“Mum, aku bukanlah perempuan yang suka clubbing atau hang out dengan
teman-teman. Aku mengerjakan tugas di kampus. Walaupun kadang-kadang aku suka
menyelesaikannya di kedai kecil. Tapi tak seburuk yang dipikirkan orang tua
akhir-akhir ini.” jelasku.
“Aku mengerti, sayang.
Apakah kau pikir, aku akan menuduhmu? Kau anak yang baik dan kupercaya.
Percayalah padaku jika kau ingin ku percaya.”
“Bukankah itu kata-kata
yang seharusnya kuucapkan?”
“Hahaha, pergi sekarang
sebelum penjaga pintu gerbang memukulmu dengan senjatanya.”
“Itu terlalu
berlebihan.” aku tersenyum.
Halte kali ini terlihat
begitu sepi. Aku menunggu bus yang akan kutumpangi. Sekitar lima belas menit
aku menunggu di sini sambil menegok ke arah pergelangan tanganku. Arlojiku
sepertinya sudah kesal memutari lingkaran penuh ketidakpastian.
Mahasiswa-mahasiswa terlihat begitu elegan dengan Toyota Corolla, Honda Accord, Civic. Entahlah, terlihat keren atau
memuakkan.
“Apa aku harus
merasakan kebancian ini setiap hari? Sial! Kali ini gagal kesempurnaan hariku, well.” gumamku penuh kesal.
“Hey, terlihat begitu
sempurna bukan? Kau buang kemana keretamu? Hahahaha.” ejek gerombolan mahasiswa
yang kiranya begitu busuk dimataku dari dalam jeep nya.
“Hey, bodoh! Aku tidak
miskin. Semiskin hatimu!”
Sangat sempurna. Dan aku
benci menunggu.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“Hey Rain, harimu
begitu sempurna bukan?” tanya Anna.
“Sangat sempurna.”
kubanting semua buku-buku dan ranselku ke atas meja.
“Hady menunggumu di
parkiran.”
“Maksudmu?”
“Pergilah sekarang
sebelum dia pergi.”
“Baiklah jika itu
maumu.”
“Mauku? Hey, hujan! Ini
kemauanmu. Payah!”
“Baiklah jika itu,
mauku. Bukankah begitu?”
“Waktu adalah cinta! Cepat!”
bentak Anna.
Aku hanya tersenyum
kecil mendengar perkataan Anna. Jantung ini bekerja dengan cepat. Tak sabar
ingin bertemu dia. Akankah kurapikan lekukan-lekukan di bajuku? Tapi kekasihku
tak menyukai hal itu. Dia menyukai keburukanku. Terdengar aneh bukan?
“Hey sun! Kau terlihat begitu buruk dan
payah! Pasti harimu sangat sempurna!” sapanya begitu tawanya.
“Hey star! Aku hujan bukan matahari. Aku
benci hariku. Kau sudah makan? Minum? Mengerjakan PR?”
“Well, you’re my sun, darl. Rain too. Aku
tak benci kau, aku belum makan, aku belum minum dan aku tak mau mengerjakan
PR.”
“Jangan bersikap
bodoh, star! Aku tak akan membelamu
di depan guru gendut itu.”
“Wow, kita beda
jurusan. Kau matahari dan aku bintang. Mana mungkin kau bisa berurusan dengan
nyonya gendut itu. Hahahaha”
“Aku lapar, darl.” Kupotong pembicaraan konyolnya
dan kuajak Hady untuk meninggalkan parkiran kotor itu.
Aku dan Hady
telah menjalani hubungan ini sekitar lima tahun lamanya. Dari awal aku duduk di
bangku sekolah menegah atas sampai akhirnya kami satu universitas. Dan sampai
di pernikahan nanti, harapanku.
Siang hari
seperti ini, aku memanggilnya star, bintang.
Dan ia memanggilku sun, matahari.
Lain halnya jika nanti malam. Aku sangat mencintainya. Walaupun terpotong
dengan banyak rintangan. Tak terlihat begitu sempurna. Tiap hari ia berlaku
konyol dan tak lupa candanya yang mewarnai hari-hariku. Hady, cinta pertamaku.
Dan terakhirku. Namun, aku belum sempat memperkenalkannya dengan ibuku. Rasanya
seperti aku membohongi Mum lima tahun
ini. Tak bohong sepenuhnya, suatu saat aku pasti akan mengenalinya.
“Cokelat hangat
untukku, roti cokelat untukku, dan ini PR ku untukmu. Selamat menikmati untukku
dan selamat mengerjakan untukmu, cantik.” ucap Hady.
“Hey, itu
cokelat hangatku. Dan itu juga roti cokelatku. Kau ingin bermain curang
denganku? Kerjakan tugasmu!”
“Tidak! Apakah
kau ingin kandungan lemak dua puluh enam persen dari makanan favoritmu ini
menumpuk di badanmu? Oh, menjijikan. Kekasihku terlihat seperti nyonya gendut.”
“Apakah ini malam?
Bodoh!”
“Tentu saja ini
malam, karena aku adalah bintang. Apakah ada bintang di siang hari?”
“Ada.”
“Kau?”
“Cepat kerjakan!
Apabila kau sudah menyelesaikan semuanya, kuberikan cokelat manis ini spesial
untukmu, darl. Dan untukku juga.”
”Cerewet.”
Sambil ia
mengerjakan tugasnya, kuberikan sepotong roti cokelat ini ke dalam mulutnya.
“Argh, notebook sial. Rain, aku pinjam notebookmu sebentar saja.”
“Lama saja.”
jawabku dengan senyuman menggodanya. Hady pun tersenyum menggodaku kembali.
“Rain, buku-buku
menjijikanmu membuat bahuku terasa remuk. Bawalah buku-buku ini atau akan ku
lemparkan ke tong sampah. Pengajar sudah masuk kelas.” tiba-tiba Anna datang
dengan wajah kesalnya.
“Thanks, best! Hahaha, aku tak menyangka
kau kuat mengangkat semua buku-buku indah ini.”
“Indah? Itu
sangat busuk, Rain.”
“Hady, aku harus
meninggalkan tempat ini, meninggalkan kau, meninggalkan roti cokelat dan
cokelat hangat, dan meninggalkan notebookku.
Jangan lupa selesaikan semua tugasmu. Oh iya, kali ini kau yang membayar semuanya.
Walaupun memang selalu kau yang membayar. Doakan aku, star.” kukecup pipinya dan aku bergegas meninggalkan kantin.
“Rain!”
“Ya?”
“I love you.”
“I hate you!”
“Hahahaha, hati-hati
sayang.”
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“Selamat siang.
Kami akan memberikan pengumuman sekaligus kabar gembira untuk sepuluh anak yang
terpilih sebagai mahasiswa berprestasi dan sebagai penghargaan, kami memberikan
kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengikuti program tukar pelajar. Kami
berharap program ini dapat dijalankan dengan baik dan dapat membawa nama
sekolah ini. Tak lupa kami ucapkan, selamat.”
Terdengar begitu
asyik. Tetapi tak ada sedikitpun keinginan hati kecil untuk menjadi mahasiswa
yang terpilih untuk mengikuti program tukar pelajar. Apa jadinya aku harus
meninggalkan Ibu, Anna, terutama Hady. Kali ini terdengar begitu buruk.
“Kate Brown.”
“Adilla Lilany.”
“Maryam Hafsh.”
“Alee.”
“Bosa Darj.”
“Hafeez W’alyn.”
“Adilla Lilany.”
“Maryam Hafsh.”
“Alee.”
“Bosa Darj.”
“Hafeez W’alyn.”
Mengapa terasa
begitu kencang hantaman detak jantungku. Aku tidak berharap terpilih. Tetapi
akhirnya,
“Dan perwakilan dari kelas ini adalah…”
“Dan perwakilan dari kelas ini adalah…”
“Aeshaa.”
“Sial!” gumamku
dalam hati. Hampir aku meneteskan air mata ini. Mungkin aku membuat bangga
sebagian orang entah ibuku dan tenaga pengajar di universitas ini. Mengapa
harus aku? Apakah tidak ada anak lain yang nasibnya jauh lebih beruntung dengan
mendapatkan kesempatan emas ini. Kapan hidupku terasa begitu sempurna?
Seolah-olah aku adalah robot yang dititipkan di dunia ini. Kejam! I hate my life!
Kemudian aku
menangis. Tuhan, aku tidak menginginkan hal ini terjadi.
“Selamat nona
Aeshaa. Kami berharap anda dapat membawa nama universitas kami.” dijabatnya
tanganku yang sangat dingin dan pandanganku mulai kosong.
“Hey, Aeshaa!
Selamat ya! Aku turut senang, padahal aku berharap mendapatkan kesempatan itu.
Tetapi dewi fortuna memihakmu.” ucap Sarah, teman sekelasku.
“Sudah, jangan
menangis. Aku tahu kau sangat terharu begitupun aku.”
Semuanya salah, aku tak
merasakan kesenangan sedikitpun. Mengapa, apa yang aku inginkan dan harapkan
tak pernah kudapatkan. Aku menginginkan kesempurnaan hidup. Kemauan dan
ketercapaian. Keindahan, kebanggaan, sentuhan kebahagiaan. Apakah ini semua
karena angan-anganku yang terlalu tinggi. Satu yang kuberatkan, aku harus
membiarkan Ibu hidup bersama kakak perempuanku, Rania. Dan Hady. Ya, Hady.
Mendengar namanya, aku menangis. Aku benci.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
*Text Messages* *Night*
“Sun, aku ingin bertemu denganmu.”
“Hey Sun, oops maksudku Star! Aku sangat
merindukanmu, cantik. Tidakkah kau lupa menanyakan kabarku? Atau jangan-jangan,
harimu begitu sempurna?”
“Hady, aku serius. Ini jauh lebih buruk dari apa
yang kau bayangkan.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin bertemu denganmu.”
“Tiap hari kita bertemu. Baiklah.”
“Kedai Kecil, jam 8 malam.”
“I love u, Star..:)”
*End Messages*
Arloji yang
melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul delapan tepat. Aku tiba di
Kedai Kecil ini tepat waktu. Perfect! Segera
ku bergegas duduk di kursi kayu favoritku tepat di pinggir jalan. Suara mesin
mobil yang melaju dan klakson yang membentuk bisingnya suara. Aku menunggu kehadiran
Hady hampir tiga perempat jam. Aku lelah dan tak tahu harus berbuat apa.
Pesanku mungkin tak sempat ia baca. Kuhubungi dia, tapi tak ada jawaban. Suhuku
sudah mulai menaik. Aku menghela nafas pelan-pelan. “Sabar, Rain. Hady tak
mungkin tidak datang. Dia pasti datang.”
Usai sudah tiga
menit berlalu. Aku duduk suntuk. Secangkir Coffe
Late sudah habis kutelan.
“Apakah anda ingin menambah lagi?” tanya pelayan bertopi itu.
“Apakah anda ingin menambah lagi?” tanya pelayan bertopi itu.
“Tidak,
terimakasih.”
“Apakah anda
sedang menunggu seseorang?”
“Apakah itu
urusanmu?”
“Tentu saja
bukan, tapi kelihatannya yang kau tunggu sudah tiba, tapi tidak tepat waktu.”
sambil menunjuk ke arah utara. Dan pria itu berlari ke arahku.
“Hey, Star! Maaf, aku terlambat.”
“Kau tidak
pernah terlambat sebelumnya. Yang selalu terlambat adalah aku.”
“Iya aku
mengerti. Harimu begitu sempurna, bukan?”
“Tidak.”
kemudian aku menangis.
“Aeshaa?”
Hady menarikku
dan memelukku erat. Aku menangis entah begitu berat aku ingin menceritakan
masalah pertukaran pelajar. Aku tak ingin mengucapkan hal tersebut. Melihat
Hady yang begitu perhatian padaku. Ia memelukku tak dilepasnya. Aku menangis
dalam pelukan hangatnya. Apakah ini yang terakhir? Semoga tidak.
“Apa yang
terjadi?”
Aku terdiam
terpaku.
“Aeshaa? Aku
kekasihmu. Ceritalah padaku, kau tak seperti biasanya.”
“Long distance.”
“Maksudmu? Aku
tidak mengerti.” sambil mengusap air mataku, “Bicaralah pelan-pelan, aku akan
mendengarkan, darl.”
“Aku dipilih
sebagai salah satu mahasiswa yang akan mengikuti program tukar pelajar.”
“Wow, bukankah
itu hal yang bagus? Kau anak yang pintar!”
“Tak seperti
yang kau bayangkan.”
“Congrate, darl. I’m glad to hear that.”
Hady mencium tanganku.
“Hady..”
“Ya?”
Aku menghela
nafas, menahan air mata ini. Kini saatnya kulontarkan semua yang ada dibenakku.
“Kau tidak
pernah membayangkan apa jadinya apabila aku berada di negeri luar. Sedangkan
kau disini?”
“Tentu saja itu
akan terjadi.”
“Aku di Paris.”
“Aku mengerti,
Aeshaa. Hal ini tak perlu ditangisi. Kita cari jalan keluarnya.”
“Ini cokelat untukmu. Dan ini Apple Pie Shoes, warna pink. Cantik bukan?”
“Ini cokelat untukmu. Dan ini Apple Pie Shoes, warna pink. Cantik bukan?”
“Hady,
sempat-sempatnya kau membelikan barang seperti ini. Cokelat? I love it. Thanks, darl!”
“Ya, maaf. Aku
terlambat hampir satu jam. Aku menyempatkan diri untuk membeli sepatu ini.
Parkiran sangat penuh, hingga mehghabiskan waktu yang sangat banyak. Kau suka
sepatu itu kan?”
“Kalau tak suka,
sudah kulempar sepatu ini ke mukamu. Sudah lama aku menginginkan ini. Ternyata
kau masih ingat. Thanks, dear!”
“Sudah lama juga
aku ingin memberikan sepatu ini untukmu. Tugas kuliah membunuhku. Uang sakuku
juga terkuras dengan biaya kuliah yang menjijikan ini.”
“Jangan menangis lagi, star!”, “Aku akan membantumu.”
“Jangan menangis lagi, star!”, “Aku akan membantumu.”
“Membantu?”
“Ya, aku akan
meminta izin kepada rektor sekolah kita, atau dosen-dosen yang menyelenggarakan
program pertukaran pelajar.”
“Maksudmu?”
“Kau tidak ingin
meninggalkan negeri ini kan?”
“Tentu saja.”
“Apabila aku
dapat membatalkan semuanya.”
“Kau yakin?”
“Jika benar
adanya, kita menikah.” mendengar ia berbicara seperti itu, kupukul bahunya.
Hady tertawa.
“Hey, aku
serius, nona. Apa kau tidak menginginkan hal ini?”
“Hanya orang
bodoh yang tidak mau, Hady.”
“Apakah kau
ingin menjadi orang bodoh?”
“Cerewet!”
Aku tersenyum.
Hady benar-benar membuatku luluh. Ialah satu-satunya lelaki yang dapat
menenangkan perasaanku. Kini tidak terlalu berat. Aku dapat menggapai semua,
dan waktuku terasa begitu sempurna saat bersamanya. Ia tahu bagaimana
menenangkan dan menghiburku. Dengan sentuhan kasih sayang dan rasa kebersamaan
yang begitu hangat. Tak dapat kubayangkan, pertukaran pelajar ini benar-benar
akan terjadi.
Hady mengantarku
pulang dengan mengemudikan Picanto
milik ayahnya. Ya, Hady adalah anak pengusaha yang tidak bisa dibilang
pengusaha besar, hanya kecil-kecilan. Tapi ia termasuk golongan “mampu”. Namun,
Hady anak yang mandiri. Ia tidak menetap bersama orang tuanya. Ia tinggal di
sebuah kost-kost-an dekat dengan kampus. Hady dibesarkan oleh ayahya, tanpa
ibunya sejak umur dua belas tahun. Ia tidak merasakan sentuhan kasih sayang
seorang ibu. Dengan begitu,terkadang ia
terlihat manja di depanku.
“Star, jangan kau pikirkan lagi
masalah-masalahmu. Aku akan membantumu sepenuhnya.” Sambil mengecup keningku,
dan aku memejamkan mata.
“Thanks, Hady. Aku harus turun, sebelum
ibuku melemparku dengan pot. Sampai bertemu besok.”
“Hahaha, itu berlebihan
sayang. Hati-hati.”
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“RAIN!!”
“Tidak usah
berteriak seperti itu, bodoh!”
“Bisakah kau
lebih kasar dengan kakakmu, Aeshaa?” ucap Ibu menyindirku.
Rania, kakak
perempuanku yang amat sangat kubenci. Mengapa aku harus tinggal satu atap
bersamanya. Aku tak mengerti sesungguhnya, apakah dia anak adopsi, atau aku?
Tapi aku jauh lebih mirip dengan ayah, timbang ia. Aku juga tak mengerti, siapa
yang menurunkan sifat busuk yang ada pada dirinya? Tidak seperti ayah, apalagi
Ibu. Entahlah.
“Apa yang kau
inginkan, bad!” bisikku pada Rania.
“Kau akan
meninggalkan rumah ini.”
“Maksudmu?”
“Tentu saja aku
akan mengusirmu.”
“Diam kau,
racun!”
Kemudian Rania
menampar pipiku.
“Kau akan pergi
selamanya, Rain! Dan aku sangat menginginkan hal itu. Semua terkabul!”
“Aeshaa, Rania!
Apa yang kalian lakukan? Lagi-lagi hal bodoh yang sangat aku benci!”
“Dia
menginginkan aku pergi dari sini. Aku akan pergi, bu!”
“Thanks, kau sangat baik, Rain!” Rania
tersenyum mengejekku.
“Rania, kembali
ke kamarmu!”
“Hey, aku bukan
anak kecil, bu!”
Lalu Ibu
menyiram mukanya dengan secangkir teh. Untung saja tidak panas. Aku tak
membayangkan apabila panasnya teh itu membakar kulit Rania.
Ia nampak kesal. Matanya melotot penuh amarah, ia lari dan membanting pintu kamarnya. Selalu itu yang ia lakukan. Mungkin ini yang membuatnya iri padaku, sehingga kami tidak cocok.
Aku menahan tangisan sesak di dada. Aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan keadaan.
Ia nampak kesal. Matanya melotot penuh amarah, ia lari dan membanting pintu kamarnya. Selalu itu yang ia lakukan. Mungkin ini yang membuatnya iri padaku, sehingga kami tidak cocok.
Aku menahan tangisan sesak di dada. Aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan keadaan.
“Minum dulu teh
ini.”
“Terimakasih.”
“Apa maksud perkataan Rania tadi?”
“Apa maksud perkataan Rania tadi?”
“Lupakanlah.”
“Please..”
“Dua puluh menit
yang lalu, ada telepon dari sekolahmu. Ternyata dosenmu. Ia meminta izin padaku
untuk mengizinkan kau mengikuti program tukar pelajar…”
“Kau
menyetujuinya?”
“Dengarkan aku
sebentar. Semua terserah padamu. Tetapi ini yang diharapkan sekolahmu. Dan
harapanku. Aku bangga mempunyai putri yang pintar…”
“Kau menyetujui
tanpa meminta persetujuan padaku sebelumnya?”
“Aeshaa,
bisakahkau menghargai pembicaraanku. Aku belum selesai berbicara. Kau
memotongnya, kebiasaan ayahmu!”
“Aku benci
padamu!”
“Aeshaa!”
Aku menangis.
Aku benci hal ini. Mengapa Ibu tidak simpatik padaku? Kukira pemikiran Ibu sama
dengan Hady. Ternyata tidak.
“Maafkan aku,
Rain. Ibu akan baik-baik saja disini. Kau meninggalkan kami tidak selamanya.
Hanya empat tahun. Pasti kami akan menjengukmu kesana. Aku tak akan
melupakanmu. Handphone, chating, video
chat, 3G, messages, banyak fasilitas, sayang. Percayalah padaku. Aku selalu
mendoakanmu. Kaulah harapanku.”
“Jadi, kau sudah
menyetujuinya?”
“Menurutmu?”
“Argh. Baiklah.”
“Besok aku ikut
ke sekolahmu.”
“Buat apa?”
“Tanda tangan
persetujuan dan penataran. Aku diundang rapat pertemuan orang tua dan dosen.”
Aku kalah. Keputusan ini
sudah hampir matang. Aku tak dapat membantah. Mungkin aku harus mematuhi ia,
Ibu. Semoga ini yang membuatnya senang. Kami berdua setuju menandatangani
persetujuan untuk mengikuti pertukaran pelajar di Paris. Prof. Hisham menjabat
tangan ibu, lalu aku. “Selamat. Kami titipkan semua kepada anda. Saya berharap
yang terbaik dan kejar terus prestasi anda.”Aku tersenyum, lagi-lagi menghela nafas. Semoga ini jalan yang terbaik. Aku akan terbang ke Paris dua minggu lagi. Entah terlalu cepat, atau lama.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“Kau sudah
menyiapkan baju-bajumu, RAIN? Jangan lupa habiskan semua barang-barang bekas di
kamarmu.”
“Diam kau,
bodoh!”
“Hey, slow down! Aku tidak mengajakmu untuk
bertinju hari ini. Hanya silat lidah.” ucap Rania dengan bersila tangan di
depan pintu kamarku.
“Keluar kau
brengsek!” kubanting pintu kamarku.
”How lucky I am, sebentar lagi kau pergi
dari rumah ini!”
*callin’*
“Hady. Apa kabar?”
“Hey Sun! Kemana saja kau dua jam tak ada kabar.”
“Berlebihan.”
“Hahahaha, aku ingin membicarakan hal yang sangat
penting.”
“Hey, bodoh! Aku yang menghubungimu. Bukankah
seharusnya aku yang berbicara seperti itu?”
“Dengarkan aku. Aku minta maaf sebelumnya karena aku
tidak bisa menepati janjiku untuk membatalkan kau berangkat ke Paris. Kepala
berkumis itu…”
“Aku jadi berangkat, Hady.” menangis.
“Aeshaa?”
“Maafkan aku.”
“Maafkan aku.”
“Mengapa kau minta maaf? Tentu ini bukan salahmu,
Hady.”
“Aku tidak tahu jika kau jadi berangkat. Mengapa kau
tidak memberitahukan padaku sebelumnya? Kukira kau akan berhasil membatalkan
semua.”
“Ini diluar dugaan.”
“Empat tahun?”
“Ya.”
“Berapa lama lagi kau akan berangkat?”
“Dua hari lagi.”
“Hey, Star! Mengapa kau menyembunyikan ini?”
“Kita bertemu di kedai kecil, sekarang.”
*End call*
Kunanti
kehadiran Hady. Tak kusentuh sedikitpun cangkir berisi Coffe Late. Aku termenung tak menyangka hal ini benar-benar
terjadi. Kuharap ini bukan pertemuan yang terakhir. Aku sangat mencintai Hady
dan aku membutuhkannya setiap waktu.
“Aeshaa.”
“Semudah itu?”
ucapku dan Hady memelukku.
“Everything’s okay, darl. Aku
mendukungmu.”
“Izinkan aku
malam ini untuk tinggal bersamamu.”
“Hubungi ibumu,
sekarang.” sambil memberikan handphone miliknya.
*Callin’*
“Hey, Mum. Apa kabar? Ini aku, Rain.”
“Baru saja kau pergi, sekarang menghubungiku. Kau
meminta izin padaku?”
“Ya. Malam ini aku tidak tidur di rumah.”
“Hang out?”
“Come on, Mum. Aku serius. Aku kembali esok. Entah
pagi, siang, atau sore.”
“Jangan bolos. Jangan lupa makan, minum, dan jangan
terlihat malas di depan orang-orang. I love you, Rain.”
“I love you too, Mum. Night.”
*End call*
“Masuklah ke
dalam. Langit nampak gelap.”
“Ini malam,
bodoh.”
“Tapi tak ada
bintang. Hujan akan turun.”
Selama
perjalanan menuju kost-an Hady, aku menatapnya. Aku benar-benar merindukannya.
Ia menatapku balik dan tersenyum. Selalu itu yang ia lakukan. Selalu tahu
bagaimana aku memperhatikannya.
Lalu menggenggam tanganku, dan menciumnya. Kemudian tertawa kecil. Aku malah menjatuhkan air mata dengan senyuman bahagia begitupun sedih. Mustahil untuk kehilangan sosok sepertinya. Lelaki yang baik dan tanggung jawab.
Lalu menggenggam tanganku, dan menciumnya. Kemudian tertawa kecil. Aku malah menjatuhkan air mata dengan senyuman bahagia begitupun sedih. Mustahil untuk kehilangan sosok sepertinya. Lelaki yang baik dan tanggung jawab.
“Sial! Ada apa
dengan mobil brengsek ini.”
Tiba-tiba mobil
berhenti dekat rel kereta api. Sedangkan di luar hujan deras. Benar yang
dikatakn Hady, bahwa malam ini akan turun hujan. Hady terlihat begitu lelah. Ia
turun dari mobilnya. Baru beberapa langkah ia keluar, badannya sudah basah
terguyur air hujan. Ia membuka cap mobil,
mencoba mengecek kerusakan mobilnya. Aku pun turun dari mobil, menghampirinya.
Hady membuka jaketnya dan menutupi kepalaku.
Hady membuka jaketnya dan menutupi kepalaku.
“Rain, masuklah
ke dalam. Disini sangat dingin.”
“Aku tak akan
membiarkanmu di luar.”
“Aku tak akan
membiarkanmu diluar dalam keadaan seperti ini.”
Lalu ia menuntunku masuk ke dalam mobil.
Lalu ia menuntunku masuk ke dalam mobil.
“Hady, izinkan
aku bersamamu di luar.”
“Rain, aku tidak
ingin kau demam karena hujan. Dua hari lagi kau berangkat. Apa aku akan
membiarkan kau sakit? Aku sayang padamu, Aeshaa.” memegang pipiku dengan kedua
tangannya.
Aku menangis di
derasnya air hujan, lalu aku memeluk Hady. Ia membalas pelukkan erat kemudian
melepasnya dan menuntunku untuk duduk di dalam.
“Wait a minute.”
Sekitar dua
puluh lima menit ia membongkar mesin yang mogok. Aku tertidur, karena menunggu
terlalu lama, dan waktu sudah larut, hampir pukul sebelas malam.
Ketika aku
membuka mata, aku berada di atas ranjang dan berselimut. Kupandangkan mataku ke
arah kiri, kulihat sofa cokelat disana dan lantai karpet yang berserakan
majalah soccer dan beberapa kaset
favorit Hady. Di atas sofa itu terbaring badan Hady yang masih basah karena
siraman air hujan. Lelah tubuh itu terlentang. Aku menghampirinya dan mengusap
kepalanya yang agak basah. Ia terbangun.
“Hey, kau
terbangun? Apakah suara dengkuranku sangat keras hingga membangunkanmu?”
“Tidak, sayang.
Pakaianmu kotor dan basah. Gantilah.”
“Oh, iya. Aku
tadi, tidak tega membangunkanmu. Bajumu basah, maksudku, pakailah ini.”
“Thanks, dear. Kau perlu mengganti ini
juga.” kutarik bajunya.
Aku mengganti
baju dengan kaos putih milik Hady. Yang sering ia kenakan. Bau harumnya yang
sangat khas. Sama seperti biasanya aku memeluk badan Hady.
“Ini teh hangat
untukmu. Aku belum restock makanan,
jadi tidak ada cokelat hangat. Kau lapar?”
“Ini sangat
cukup, Hady. Thanks.”
“Dating kita, tak seperti yang kau
harapkan. Tadinya aku ingin mengajakmu ke pesisir pantai. Menikmati deburan
ombak, tapi cuaca dan mobil sialku tak mendukung. Terpaksa kita harus pulang.
Maaf, ya?”
“It’s okay, Sun! Aku lebih senang disini.
Kita habiskan waktu bersama. Besok aku bolos.”
“Rain, kau harus
mempersiapkan semuanya besok. Senin, kau berangkat.”
“Aku ingin
menghabiskan waktu bersamamu.”
“Itu yang
seringkali kita lakukan.”
“Tapi tidak
untuk yang terakhir kali bukan?”
“Terakhir kali?”
“Maksudku, Senin
aku terbang ke Paris.”
“Baiklah. Aku
punya game baru. Ambil stickmu. Kita tanding, sayang!”
“Okay!”
Kami bermain
game bersama. Menghabiskan cookies dan
M’n’M. Kadang ia memukul kepalaku
lalu mengelusnya. Kami tertawa terlihat begitu bahagia.
Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Mataku sudah tidak kuat membuka lagi. Hady menyarankan aku tidur di ranjang dan ia di sofa.
Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Mataku sudah tidak kuat membuka lagi. Hady menyarankan aku tidur di ranjang dan ia di sofa.
“Aku ingin tidur
disini, Sun!”
“Tidurlah
dipangkuanku.”
Aku tidur di pangkuannya
dan ia memfokuskan matanya ke arah televisi. Lalu aku memegang pipinya
memandangnya.
“Kau sangat mirip dengan
ibumu.”
“Aku putranya.”
“Tapi, aku tidak mirip dengan
ibuku.”
“Kau mirip Alby, kemarin
aku bertemu ia.”
“Ayahku?”
“Ya.”
“Aku tidur. Good night.” aku terlelap di pangkuannya.
Ia tersenyum dan mengecup keningku.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
Keberangkatan sudah di
depan mata. Tas dan koper sudah melekat di tanganku. Penerbangan pukul lima
sore. Matahari tampak menyembunyikan cahayanya. Suasana bandara dengan
orang-orang yang mengejar dunia. Aku dan beberapa pelajar lainnya tampak cemas.
Kusandarkan badanku di kursi. Hady belum datang juga. Aku menanti kehadirannya
tapi tak kunjung datang. Telepon selularku mati. Setelah kunyalakan, telepon
masuk.
“Hey,
cantik! Ternyata kau mematikan selularmu. Maafkan aku, aku tidak dapat mengantarmu
ke bandara. Ayahku sakit dan sekarang kubawa ke rumah sakit. Aku mencoba izin
sebentar, tetapi ayahku tidak mengizinkan. Aku harus mengurus administrasi
rumah sakit. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku sangat menyesal
tidak dapat melihat keberangkatanmu. Hati-hati di sana, sayang. Aku mencintaimu
dan cepatlah kembali. I love you, muach.”
Ternyata hanya pesan
suara. Yang kunanti sia-sia. Sedih rasanya. Aku menghela nafas pelan-pelan dan
menghirupnya kembali kemudian memejamkan mata.
“Hei, sexy! Maaf aku terlambat. Aku harus
menyusul Hady ke rumah sakit, ayahnya terserang penyakit jantung.” sapa Anna
hampir mengejutkanku.
“Sapaan yang
menjijikan. Bagaimana kau bisa menyusul Hady?”
“Hady menghubungiku,
dan ia menitipkan ini.” memberikan bungkusan kecil berwarna merah, lalu aku
membukanya.
Ternyata sebuah kalung. Kelihatan sangat lux dan elegan. Lagi-lagi aku menjatuhkan air mata dan memanggil namanya. Kucoba menghubunginya, tetapi tak ada jawaban. Kukirimkan pesan suara.
Ternyata sebuah kalung. Kelihatan sangat lux dan elegan. Lagi-lagi aku menjatuhkan air mata dan memanggil namanya. Kucoba menghubunginya, tetapi tak ada jawaban. Kukirimkan pesan suara.
“Hey
Hady. Sebelumnya terimakasih. Kau sangat baik dan perhatian padaku. Aku
menyukai kalung indah pemberianmu. Doakan aku selamat dan selalu mengingatmu.
Aku akan selalu merindukanmu, Star! Sekarang aku mengenakan Apple Pie shoes
pemberianmu. Aku terlihat cantik. I love you, muach.”
Ini adalah sebuah
keadilan. Aku beranjak menuju apron, dan memasuki pesawat untuk take off.
“Selamat jalan, Rain.
Turunkan hujan disana. Aku sangat merindukanmu.” sapa Ibu dengan senyumannya.
“Jangan pernah lupa untuk
menghubungiku.” ucap Anna.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“Welcome to Université
Paris 1 Panthéon-Sorbonne”
Tujuan hari ini survey ke universitas yang akan
menjadi makanan sehari-hariku selama empat tahun. Terasa sangat begitu asing.
Memandang nama universitas itu, bulu kudukku mulai naik. Entah kenapa hal ini sudah
terjadi. Perwakilan hanya sepuluh orang, tak ada yang kukenal.
Aku berjalan menuju sebuah ruangan yang sangat besar dan gelap. Ternyata perpustakaan. “BibiliothÄ“que” Bahasa alien, sangat aneh. Aku tak mengerti sedikitpun. Aku memandangi area kampus ini. Hati kecil terasa puas dan sedikit senang. Aku mengarahkan mataku ke langit-langit koridor.
Aku berjalan menuju sebuah ruangan yang sangat besar dan gelap. Ternyata perpustakaan. “BibiliothÄ“que” Bahasa alien, sangat aneh. Aku tak mengerti sedikitpun. Aku memandangi area kampus ini. Hati kecil terasa puas dan sedikit senang. Aku mengarahkan mataku ke langit-langit koridor.
“Votre sac est
tombé.” tiba-tiba seorang perempuan menegurku dengan
bahasa alien. Aku memandangnya penuh tanya.
“Escuse me?”
“Tasmu
terjatuh. Maaf, kita berasal dari negeri yang sama walaupun ibuku Perancis.
Namaku Haneya. Kakakku akan bersekolah disini. Namun aku sudah lebih dulu
setahun disini.”
“Bahasa
perancismu bagus. Aku Rain, maksudku, Aeshaa.”
“Rain?
Bukankah berarti hujan?”
“Aeshaa.”
“Okay, nama yang bagus. Kau akan
bersekolah disini?”
“Ya.”
“Kau kenal
kakakku?”
“Aku tak
mengenal satupun mahasiswa yang datang bersamaku.”
“Wow, hebat!
Kakakku, Alee.”
“Maaf, aku
benar-benar tidak mengenalnya.”
“Baiklah.
Ternyata ia datang, aku harus pergi. Bye,
Rain! Nous reverrons!”
“Call me, Aeshaa!”
Aneh. Aku tak
mengerti artinya. Ia malah pergi. Mungkin ia tidak ingin bertemu denganku lagi.
Aku harus segera pergi ke tempat dimana aku dapat melemaskan otot kakiku yang
terasa sangat beku. Mungkin tidak jauh dari sini.
Kuinjakkan kakiku tepat di “Buttes Chaumont4” ternyata sangat jauh dan lain waktu aku perlu
membuang uangku untuk naik taksi. Menyebalkan.
Semua fasilitas tersedia. Sekolah, tempat tinggal, dan biaya penuh, kecuali makan. Mau tidak mau aku harus mencari kerja disini. Aku harus belajar mandiri.
Semua fasilitas tersedia. Sekolah, tempat tinggal, dan biaya penuh, kecuali makan. Mau tidak mau aku harus mencari kerja disini. Aku harus belajar mandiri.
Baru satu
langkah aku berjalan, tiba-tiba ada seseorang menabrakku dari belakang dan
membuat tasku jatuh.
“Maaf, ini
kamarku.” ucap lelaki asing itu.
“Nomor di
kunci ini sama dengan pintunya.” bantahku.
“Aku mempunyai
kunci itu… Oops, maaf. Aku salah.”
Lelaki yang
bodoh, pikirku.
“Alee, que faites-vous?” sapa Haneya yang
tiba-tiba muncul di belakangku pada lelaki itu.
“Hentikan
ucapan bodohmu.”
Ternyata
lelaki ini yang disebutnya tadi, Alee. Aku tidak mengenalnya. Dan aku tidak
sadar bahwa kami satu universitas, satu pesawat, satu apartemen, dan satu
universitas lagi.
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamarku.
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamarku.
*Callin’*
“Hady?”
“Hey, sayang. Kau sudah sampai? Kau sudah melihat sekolah
barumu? Teman baru? Tempat tinggal baru? Suasana baru? Bahasa baru?...”
“Hey, dengarkan aku!”
“Waktu baru? Dan jangan sampai cinta baru. Hahahaha.”
“Hady!”
“Maafkan aku, Rain. Kau ingin bicara apa?”
“Apa kabar? Aku merindukanmu.”
Tertawa kecil, “Baik, dan aku merindukanmu juga.”
“Kau sudah makan? Minum?...”
“Mengerjakan tugas. Membersihkan kamar. Semua belum. Namun,
mencintaimu, aku sudah.”
“Hahahaha. Menjijikan! Tak kubayangkan ekspresi kelinci yang
ada di wajahmu.”
“Lihatlah, kupingku memanjang! Argh, sihir apa yang kau
perbuat?”
“Sudahlah, sayang. Aku tak kuat menahan tawa juga tangis.”
“Jangan pernah menangis, kecuali aku menyakitimu. Kuharap
hari-harimu akan baik disana. Aku mencintaimu, Aeshaa.”
“Aku sangat mencintaimu. Bye!”
Senyumku kini sudah
kembali. Dan hatiku sudah mulai nyaman mendengar suaranya. Aku harus
menjalankan aktivitasku dengan baik. Bangun pagi, membuat sarapan, mandi dan
berangkat ke kampus. Mengerjakan tugas, menyiapkan makalah, bertemu dosen,
belajar bahasa alien. Bertemu teman baru dan melamar kerja. Tentunya mendapat
teman kerja baru. Dan tidak tampak malas di depan orang-orang. Pesan Ibu yang
sangat kuat.
Kulalui hari-hariku tak terlihat begitu sempurna. Namun
menyenangkan. Tak terasa hampir tiga tahun aku menetap disini. Nilaiku membaik
dan dosen dari negeriku maupun di universitas ini mempercayai kemampuanku.
Hari-hari cintaku juga berjalan baik. Hampir tiap waktu kuluangkan untuk
menghubunginya. Video call, chating,
video chat, text messaging, calling, semuanya terasa seperti biasa.
Walaupun tidak ada pertemuan antara aku dan Hady.
Aku juga
menghabiskan waktuku bersama teman-teman baru yang kiranya menggunakan bahasa
alien yang sekarang menjadi bahasa sehari-hariku. Hang out tanpa clubbing
tentunya. Kami hanya berjalan-jalan. Seperti menyeruput beberapa minuman
favoritku di La Palette, Le Cafē dan lainnya. Shopping, membeli peralatan untuk tempat
tinggalku. Dan kini aku sudah bekerja di Helmut
Newcake, sebagai tenaga penghias kue-kue lezat disana. Lumayan gaji yang dapat menutupi kebutuhan
sehari-hari. Dan beruntungnya toku itu adalah milik Haneya, perempuan yang
pertama kali kukenal disini walaupun kami berasal dari negeri yang sama. Aku
cukup bersahabat dengannya, ia lebih muda satu tahun dariku. Kiranya ia cukup
menyenangkan. Tapi, tetap Anna yang kurindukan.
Aku bekerja
disana hampir delapan bulan. Ia memiliki keluarga yang baik. Nasibnya hampir
sama sepertiku. Ia tinggal bersama kakak lelakinya, Alee dan ibunya. Ayah dan
ibunya bercerai sejak ia umur lima belas tahun. Sedangkan aku, ayah bercerai
dengan ibu saat aku berumur sembilan tahun. Terkadang aku merindukan arti
sebuah keutuhan keluarga, sentuhan kasih sayang seorang ayah, dan Rania. Yang
tiba-tiba berubah jahat padaku semenjak ayah dan ibu bercerai. Akupun tak
mengerti apa salahku? Perbuatannya yang sangat memuakkan, hampir merindukan.
Tapi aku tak pernah menghubunginya, sekalipun semenjak aku di Paris. Aku tidak
peduli akan keadaannya.
Hari ini aku harus ke sekolah.
Menyelesaikan tugas yang akan dikumpulkan tiga hari mendatang. Aku membutuhkan
beberapa buku di perpustakaan. Cuaca diluar cukup dingin, di bulan Juni ini
cuaca sekitar delapan belas derajat celcius.
Aku harus mengenakan mantel buluku, walaupun memang setiap hari aku
menegenakannya. Kubawa tas selempangku dan beberapa buku yang agak tipis tetapi
rasanya sangat berat. Tak lupa mengenakan boot
kulit.
Setelah hampir sampai di depan gerbang kampus, ada pria bersandar di bawah pohon mengenakan topi hitam dan jaket kulit yang kukenal. Aku berhenti sejenak. Ia menangkat topinya dan memanggil namaku. Aku terkejut, tak menyangka kehadirannya di depan mataku.
Setelah hampir sampai di depan gerbang kampus, ada pria bersandar di bawah pohon mengenakan topi hitam dan jaket kulit yang kukenal. Aku berhenti sejenak. Ia menangkat topinya dan memanggil namaku. Aku terkejut, tak menyangka kehadirannya di depan mataku.
“Alby?”
“Apa kabar?”
“Bagaimana kau
bisa sampai disini, dad?”
“Aku bisa
kemana saja.”
“Mustahil.” ia
memelukku dan memberi kecupan di keningku. Sungguh, terasa asing tapi sudah
lama aku tak merasakan ini.
“Bagaimana
kuliahmu? Di sekolah baru?”
“Ceritakan
padaku, bagaimana kau bisa sampai di kota ini? Hingga menemuiku?”
“Aku ayahmu.”
“Alby…”
“Panggil aku, dad.”
“Entahlah.”
“Kau lupa
perkataanku? Aku akan selalu ada dimanapun kau berada. Aku selalu tahu
tentangmu, apa yang kau lakukan dan siapa kekasihmu.”
“Siapa?”
“Anak
pengusaha kecil itu, musuhku.”
“Musuhmu?”
“Hady.”
“Ia musuhmu?”
“Yang sering
terserang penyakit jantung. Itulah musuhku.”
“Bagaimana
bisa?”
“Ibumu-pun
membencinya.”
“Aku benci perkataanmu,
Alby.”
“Ya, karena
kau mencintai anaknya.”
Aku
benar-benar kesal sekarang. Kehadiran ayah membuat kacau pikiranku. Benar apa
yang dikatakan ibu. Aku sedikit membencinya, namun ia ayahku.
“Lupakan
semua, Aeshaa. Ajak aku ke tempat favoritmu.”
“Tempat
favoritku adalah negeri kelahiranku.”
“Maksudmu?”
“Pulanglah.”
“Aku ayahmu.”
Selalu
kata-kata itu yang ia ucapkan seringkali bertemu denganku. Aku meninggalkannya
sendirian di tempat pertemuan kami tadi. Aku segera bergegas masuk ke dalam
untuk menyelesaikan semua keperluanku. Ke perpustakaan, kelas, bertemu senior
meminta pengarahan.
Setelah kembali, Alby tetap pada posisinya. Berdiri menyandar di bawah pohon namun ada sesuatu yang amat kubenci dimulutnya.
Kutarik sebatang rokok yang ada di mulutnya, kubuang ke bawah dan kuinjak dengan perasaan kesal.
Setelah kembali, Alby tetap pada posisinya. Berdiri menyandar di bawah pohon namun ada sesuatu yang amat kubenci dimulutnya.
Kutarik sebatang rokok yang ada di mulutnya, kubuang ke bawah dan kuinjak dengan perasaan kesal.
“Hentikan
perbuatan bodohmu, Alby!”
“Hey, apa
maksudnya?”
“Ini Paris!”
“Apa salahnya
aku menghisap rokok di Paris? Dimana saja sesuka hatiku. Tak ada peraturannya,
bukankah begitu?”
“Hidupmu tak
beraturan!”
“Aeshaa, slow down. Kau mirip sekali dengan
ibumu.”
“Aku anaknya.”
“Kau juga
anakku.”
“Terserah.”
Akhirnya kami berdua
pergi ke kedai kopi dekat kampus. Kami berbincang disana walaupun sesering
mungkin kami bertengkar. Tujuan kedatangan ia ke Paris hanya untuk mengawasiku.
Ya, itulah kelebihan ayah, selalu memperhatikanku setiap saat tanpa
sepengetahuanku.Ia mengetahui semua tentangku. Terutama hubunganku dengan Hady. Ia tidak menyetujui hal itu. Hady anak yang baik, tetapi ayahnya tidak. Begitu dikatakannya. Jika ibu tahu, ia akan mempunyai pemikiran yang sama dengan Alby. Karena ayah Hady telah membuat hancur usaha Alby dan hubungannya dengan ibu. Aku sangat terkejut. Ternyata yang dibenci oleh Ibu selama ini adalah ayah Hady. Aku baru saja mengetahui hal ini tentunya dari ayah. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku mencintai Hady, dan aku tidak ingin hubunganku dengannya hancur hanya karena latar belakang kedua orang tua kami. Entahlah. Aku tak sanggup memikirkan hal bodoh ini.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“Hey, Rain!
Ada yang ingin bertemu denganmu.”
“Siapa?”
“Tentu saja
Alee.”
“Apa
maksudmu?”
“Hahahaha. Aku
hanya bercanda Rain. Kapan kau kembali ke negerimu?”
“Empat bulan
lagi.”
“Cepat sekali.
Aku belum sempat mengenalkanmu dengan Alee.”
“Untuk apa?
Kami satu universitas, satu apartemen, dan aku bekerja di tempatnya. Pertemuan
pertama di depan kamarku, itu sudah cukup.”
“Tapi, tak ada
perkenalan diri kan? Maka tak berteman.”
“Ia tahu
namaku?”
“Tentu saja.”
“Itulah awal
perkenalan. Tak kenal nama, berarti bukan teman.”
“Pepatah apa
itu?”
“Pepatahku.
Baru saja beberapa detik yang lalu kuciptakan.”
Lagi-lagi
Haneya menggangguku. Apa maksudnya memperkenalkan dengan kakak lelakinya,
sedang aku sudah mengenalnya walaupun tidak pernah ada perbincangan inti. Hanya
sekedar say hello dan senyum.
Senyumpun sangat jarang kuberikan padanya. Kurasa itu hal yang sangat tidak
penting.
*Text Chatin’*
“Hey, Rain. Apa kabar, aku merindukanmu.”
“Hey, Hady. Aku baik dan sangat merindukanmu. Bagaimana
denganmu? Empat bulan lagi aku kembali.”
“Benarkah? Wow, hebat. Aku akan menanti kehadiranmu kembali.
Bagaimana acara pesta kelulusan disana? Mengasyikan bukan? Pasti sangat keren!
Paris Theme Party, hmmm. Aku penasaran. Mengapa belum kau upload semua foto dan
rekaman acaramu. Tapi, tidak lupa aku memamerkan Fire Work Graduation Party of
Our University. Keren!”
“Really? Jangan membuatku iri. Tapi, aku
akan memamerkan acara kelulusanku secepatnya. Tunggu aku kembali, dear!
Hahahaha. Pasti sekarang kau sedang menggigit jari, telinga panjang.”
“Apakah ada kembang api?”
“Tentu. Dan itu diwajibkan, sayang.”
“Hahahaha. Kau sangat berlebihan, sayang. Oh, iya. Aku ingin
membicarakan sesuatu padamu.”
“Apa?”
“Ny. Helijha.”
“Ibuku?”
“Sampai detik ini, kau belum membicarakan tentang hubungan
kita padanya?”
“Ya.”
“Aku bertemu dengannya saat aku membeli disk baru di toko
kaset. Ia menyapaku. Ia sangat baik, sama sepertimu, bersahabat. Tapi akhirnya
membuatku hancur.”
“Hady?”
“Ia tidak menginginkan hubungan kita. Jika tak sebatas
teman.”
“Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.”
“Mungkin kini saatnya aku memberitahukan semua padamu.”
“Hady, jangan membuatku menangis.”
“Kali ini aku akan membuatmu menangis. Maafkan aku, sayang.
Karena aku telah menyakitimu.”
“Kau mengerti, aku adalah lelaki berdarah Italia. Dan itu berasal dari kakekku, menurun ke ayahku. Tetapi, genetikku lebih dominan pada ibuku. Suatu masalah yang dihadang oleh keluargamu. Itu karena ayahku. Ayahku kejam dan keras kepala, itulah alasan mengapa aku tak ingin hidup serumah dengannya. Mulai aku duduk di bangku sekolah menengah atas, aku memilih untuk hidup sendiri. Kadang dengan pamanku. Dan aku sangat membenci ayah. Ayahku mantan mafia.”
“Kau mengerti, aku adalah lelaki berdarah Italia. Dan itu berasal dari kakekku, menurun ke ayahku. Tetapi, genetikku lebih dominan pada ibuku. Suatu masalah yang dihadang oleh keluargamu. Itu karena ayahku. Ayahku kejam dan keras kepala, itulah alasan mengapa aku tak ingin hidup serumah dengannya. Mulai aku duduk di bangku sekolah menengah atas, aku memilih untuk hidup sendiri. Kadang dengan pamanku. Dan aku sangat membenci ayah. Ayahku mantan mafia.”
Aku sejenak
terkejut, dan nafasku seakan berhenti mengikuti detak jantungku yang entah
mengapa tak bekerja sesaat. Aku mencoba mengambil nafas pelan-pelan dan semakin
lemah.
“Ayahku yang menghancurkan keutuhan keluargamu. Tapi, tak
kusangka yang kujadikan kekasih adalah anak dari musuh ayahku. Aku tak mengerti
apa jadinya jika ayahku tahu. Mungkin aku akan dibunuhnya. Itu bukan suatu
masalah. Yang tidak aku inginkan adalah ketika ia mencoba membunuhmu. Aku tidak
menginginkan hal itu terjadi. Hubungan kita telah berjalan hampir sembilan
tahun. Aku ingin melamarmu setelah kau kembali. Entah bagaimana caranya,
walaupun aku akan mendapatkan terror pembunuhan dari ayahku. Maafkan aku, aku
tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya padamu. Aku tidak ingin membuatmu
kecewa, aku terpaksa mengatakan ini. Karena aku harus menuruti perkataan ibumu.
Kemarin, saat di toko kaset, ia memohon padaku agar aku menjauhimu. Tapi
kutolak tawaran itu. Tetapi yang tak kusangka, ternyata ayahku mengetahui semua
hal ini. Ia mengancam ibumu dan ia mengeluarkanku sebelum aku mengurus
kelulusan. Aku hancur dan kacau. Ini adalah dendam yang mendarah. Tak akan
pernah hilang sampai akhirnya ayahmu yang mati, atau ayahku. Aku mencoba
membunuh ayahku. Tapi ia ayahku, Aeshaa.”
“Hady, kau tidak akan memutuskanku?”
“Tidak akan pernah, sayang. Aku menyayangimu.”
“Beberapa waktu yang lalu, ayahku datang ke Paris. Ia
menceritakan latar belakang keluargaku dan keluargamu. Aku tak pernah menyangka
selama bertahun-tahun ini aku menjalani hubungan denganmu, namun terdapat
halangan. Aku benci hidupku, Hady. Aku akan membunuh diriku, sebelum ayahmu
membunuhku.”
“Hey, sayang. Hentikan perkataan bodohmu. Aku ada bersamamu.”
“Tak seperti yang kau bayangkan.”
“Aku akan melamarmu setelah kau kembali kesini. I promise.”
*End chatin’*
Aku
benar-benar hancur. Tak ada lagi setetes semangat yang mendarah di tubuhku. Aku
menangis begitu keras, membanting semua yang ada di depanku. Aku tak tahu harus
kehilangan ayah, ibu ataukah Hady? Lebih baik aku pergi meninggalkan dunia ini
walaupun tidak ada ketenangan dan kedamaian. Aku benci hidupku, aku benci
hidupku, dan aku benci hidupku. Tidak ada hal apapun yang dapat kulakukan. Aku
harus kembali secepatnya. Aku tidak peduli dengan penyelesaian sekolahku di
Paris. Aku segera memesan tiket penerbangan. Dan bergegas menyiapkan pakaian
dengan isakan tangis yang tiada hentinya. Yang ada dalam pikiranku hanya Hady,
hampir aku melupakan keadaan ibu. Aku merapikan semua walaupun pada
kenyataannya terlihat sangat kacau.
“Escuse me?” seseorang dibalik pintu
menyapaku.
“Apa yang
ingin kau lakukan, Alee.”
“Pintumu
terbuka, aku hanya ingin mengingatkanmu agar menutupnya kembali.”
Aku segera
menutup pintu itu tanpa berkata apapun padanya. Aku sama sekali tidak peduli.
Aku segera bergegas keluar membawa koperku. Pergi menuju tempat kerjaku, yaitu
tempat dimana aku akan izin kepada Ny. Murry dan anaknya, Haneya, untuk kembali
ke negeriku.
Keberangkatan pukul
delapan malam. Keadaanku yang tergesa-gesa dan waktu yang membunuhku. Tangisan
tak lepas dariku. Apapun yang sekarang aku lakukan menjadi kesedihanku.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“Aeshaa?”
“Mum.” Aku memeluk tubuhnya yang sangat
hangat. Kerinduan yang mendalam dan tak pernah kurasakan selama empat tahun
ini.
“Kau kembali
tanpa memberitahukan padaku sebelumnya. Apa maksudmu? Aku sangat
mengkhawatirkan keadaanmu, sayang. Sudah hampir satu bulan ini, kau tak pernah
menghubungiku.”
“Aku
merindukanmu, Mum. Izinkan aku
menikah dengan Hady.”
“Aeshaa?”
“Ibu, aku
mohon. Aku akan berusaha menghindari dari ancaman itu.”
“Hady
memberitahukan semuanya?”
“Mum, please, dengarkan aku dan turuti
kemauanku sekali ini saja.”
“Aeshaa, semua
tak semudah yang kau bayangkan. Aku menyayangimu. Aku tak ingin hal buruk
terjadi padamu. Dengarkan aku, dan percayalah padaku. Aku ibumu, aku mengerti
perasaanmu. Tapi ini hal yang beresiko.”
“Aku mencintai
Hady, begitupun ia. Aku akan menerima resikonya. Aku menanggung semua, bu. Aku
tak mungkin tak menikah dengannya.”
“Itu mustahil,
Rain!”
Kemudian aku
menunduk dan menangis. Aku menjatuhkan tas yang masih kugenggam. Aku kalah. Aku
diam dan meninggalkan ibu. Kujatuhkan badan ini ke atas ranjang berselimut hitam.
Aku menatap langit-langi dan melihat lampu bohlam yang menggantung di atas
sana. Kemudian kulempar dengan walkman yang
ada di sebelah kananku. Dan, pecah. Suara pecahan yang mengagetkan Rania,
hingga ia masuk ke dalam kamarku.
“Apa yang kau
lakukan?”
“Kira-kira
apa?”
“Aku sudah
memecahkan bohlam itu hampir lebih dari seratus kali. Kau merusaknya kembali.”
“Kau pikir aku
perduli?”
“Seharusnya
begitu.”
Aneh. Ada
sesuatu yang aneh dan tidak biasanya pada Rania. Biasanya ia selalu
mengeluarkan kata-kata kasar padaku atau bermain kekerasan layaknya preman. Ia
juga tak memasang wajah nenek sihir yang membuat tanganku ingin melempar asbak
rokok tepat ke depan hidungnya.
Rania memandang wajahku memasang muka yang sok simpatik.
Rania memandang wajahku memasang muka yang sok simpatik.
“Aku putus.”
“Itu bukan
urusanku. Dan sejak kapan aku mengetahui kau mempunyai kekasih hingga sekarang
kau mengatakan hubunganmu kandas.”
“Rain! Aku
kakakmu!”
“Bukan. Kau
adalah orang yang selalu menghancurkan kebahagiaanku di rumah ini.”
“Enyahlah!”
Entahlah, Rania
adalah wanita yang sangat aneh yang pernah kutemui. Memuakkan namun setidaknya
aku cukup puas menghancurkan lampu bohlam sialan itu.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
*Callin’*
“Hady, bagaimana harimu? Kedai kecil jam empat sore. I love
you.”
*End call*
Lagi-lagi aku
menunggu Hady hampir tiga perempat jam dengan perasaan cemas. Aku
merindukannya. Empat tahun tak bertemu. Dan kini mulai klimaks, aku tak sabar
menanti kehadirannya. Kutengok kembali arloji yang melingkar di pergelangan
tanganku, tetapi tak kunjung datang. Dan handphoneku
bordering.
“Hey, cantik.
Maafkan aku, aku tidak bisa datang ke kedai hari ini. Aku harus mengantar
ayahku check up ke rumah sakit. Kau
tahu, aku tak mungkin membiarkan ia berangkat sendirian. Ia membutuhkanku.”
“It’s okay, darl. I miss you.”
Hari yang
buruk dan amat sangat buruk. Kedatanganku sepertinya sia-sia. Tidakkah Hady
merindukanku? Atau ia tak mempedulikanku? Mungkin aku harus chek ke psikiater. Ada gangguan kejiwaan
dalam diriku. Sangat sempurna!
Sampai di rumahpun, Hady tidak menghubungiku. Sesekali
kuhubungi, telepon selularnya tidak aktif, terkadang meninggalkan pesan. Aku
merasa kehilangan dia. Kehilangan sosok yang selalu memperhatikanku dan
menyayangiku. Ini tak selamanya, mungkin hanya sesaat.
Telepon
selularku bordering. Hady memanggilku.
“Aeshaa,
pesisir pantai, sekarang. Aku tinggu.”
Aku terkejut
dan segera mengambil jaketku lalu meninggalkan rumah. Berlari ke luar dalam
keadaan basah terguyur hujan. Aku mengelabui air mataku dengan guyuran air
hujan yang membasahi pipiku. Berlari sampai akhirnya aku tiba di pesisir
pantai. Kulihat disana seseosok lelaki berdiri mengenakan jaket yang sangat
kukenal. Ya, Hady.
“Hady?”
“Aeshaa.”
menangis.
“Hey, apa yang
terjadi? Mengapa kau menangis, sayang?”
“Aku harus
meninggalkanmu.”
“Jangan
bercanda, bodoh!”
“Aku
serius. Aku benar-benar harus
meninggalkanmu. Malam ini aku berangkat ke US. Aku harus tinggal di sana,
selamanya.”
“Hady!
Tindakan bodoh apa yang kau lakukan.”
“Ancaman
ayahku, yang benar-benar akan diIakukan. Aku tak ingin terjadi hal buruk
padamu.”
“Aku akan jauh
lebih buruk, jika tidak ada kau!”
“Aeshaa,
dengarkan aku.”
“Aku benci
kau!”
Hady memelukku dan
mengusap rambutku lalu mencium keningku. Aku menangis tiada henti. Kesempurnaan
yang kuharapkan menjadi akhir yang sia-sia. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya
menangis yang kutangguhkan.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
Pagi ini tak
begitu cerah kiranya. Bangun di pagi hari yang mendung dan kalbu. Keabuan
menyantap langit dan awan di atas sana. Entahlah, aku mempunyai sekian tanggung
jawab yang kuhancurkan. Aku tak mengerti artinya hidup. Aku hanya menanti
sebuah keajaiban yang dapat membuat hidupku kembali normal. Aku tahu
jawabannya. Hady.
Kehilangan seorang yang selalu menjadi pedoman hati rasanya begitu mati. Aku tak mengenal arti sabar. Kuperlihatkan, hanya kepada Mum. Rania yang kini menetap di rumah sakit jiwa karena gangguan kejiwaan yang menyerangnya. Ia harus mendapatkan perawatan khusus. Mengapa bukan aku saja? Aku tidak mengerti jalan cerita ini. Benar-benar tidak mengerti.
Kehilangan seorang yang selalu menjadi pedoman hati rasanya begitu mati. Aku tak mengenal arti sabar. Kuperlihatkan, hanya kepada Mum. Rania yang kini menetap di rumah sakit jiwa karena gangguan kejiwaan yang menyerangnya. Ia harus mendapatkan perawatan khusus. Mengapa bukan aku saja? Aku tidak mengerti jalan cerita ini. Benar-benar tidak mengerti.
“Rain, ada
yang ingin bertemu denganmu.” ucap Ibu.
“Siapa?”
“Seorang
lelaki.”
Sangat menarik, aku berharap kehadiran Hady yang menjemputku.
Sangat menarik, aku berharap kehadiran Hady yang menjemputku.
“Hey, Aeshaa.”
“Alee?”
“Ternyata kau
masih mengingatku? Syukurlah.”
“Perbincangan
kedua kalinya. Masuklah.”
“Terimakasih.
Bagaimana kabarmu?”
“Buruk.”
“Bagaimana bisa?”
“Itu bukan
urusanmu.”
“Maaf.”
“Lupakan.”
“Sejak kapan kau kembali dari Paris?”
“Sejak kapan kau kembali dari Paris?”
“Bulan Juli
lalu.”
“Juli?”
“Ya. Kau dan
aku satu pesawat.”
“Bagaimana hal
itu bisa terjadi?”
“Aku duduk di
kursi tepat di belakangmu. Kau menangis.”
“Itu tidak
penting.”
Tersenyum,
“Baiklah. Lain kali kita bertemu lagi.”
“Jika Tuhan
menghendaki pertemuan kita, namun aku tak berharap demikian.”
“Baiklah, aku
harus pulang. Terimakasih.”
“Mengapa
terlihat terburu-buru?”
“Sepertinya
ada seseorang yang tidak mengharapkan kehadiranku.”
“Aku?”
Tersenyum,
“Mungkin. Lain kali kita bertemu.”
Alee datang
dan kembali pergi tanpa alasan yang pasti. Tak kusangka ia datang ke rumahku.
Apakah ia hanya memata-mataiku? Kehadiran yang tak diharapkan. Lelaki asing dan
aneh.
Mum memanggilku dan melontarkan pertanyaan konyol tentang kedatangan Alee. Ia tak mengerti luka yang ada di hatiku ini. Aku tak mungkin menerima lelaki manapun. Bahkan jika ada cloning dari Hady. Jiwaku seakan mati. Aku mengharapkan kehadirannya kembali jika itu adalah hal yang mustahil. Aku tak dapat melakukan hal apapun kecuali merenungkan nasib burukku di kamar. Dan sendiri. Aku akan keluar rumah jika di luar sana turun hujan. Atau aku melentangkan tubuhku di atas pasir berbisik mendengar deburan ombak dan merasakan bau harum tubuh Hady. Kemudian memejamkan mata dan menangis tentunya. Aku cengeng. Senjataku hanya menangis. Menunggu ketidakpastian yang membunuh waktuku. Mengunyam kebahagiaanku.
Mum memanggilku dan melontarkan pertanyaan konyol tentang kedatangan Alee. Ia tak mengerti luka yang ada di hatiku ini. Aku tak mungkin menerima lelaki manapun. Bahkan jika ada cloning dari Hady. Jiwaku seakan mati. Aku mengharapkan kehadirannya kembali jika itu adalah hal yang mustahil. Aku tak dapat melakukan hal apapun kecuali merenungkan nasib burukku di kamar. Dan sendiri. Aku akan keluar rumah jika di luar sana turun hujan. Atau aku melentangkan tubuhku di atas pasir berbisik mendengar deburan ombak dan merasakan bau harum tubuh Hady. Kemudian memejamkan mata dan menangis tentunya. Aku cengeng. Senjataku hanya menangis. Menunggu ketidakpastian yang membunuh waktuku. Mengunyam kebahagiaanku.
Keesokkan harinya, Alee
menghubungiku. Ia memintaku agar menemuinya di restauran jam tujuh malam. Aku
menolaknya, namun ia memohon dengan keras. Kali ini aku kalah dengan egoku. Aku
tak mengerti apa maksudnya. Segitu bodohnya kah aku menuruti kemauannya?
Ternyata aku benar-benar bodoh. Kurapikan simple
dress berwarna cream ini. Dan menyisir
rambutku yang terlihat payah sebelumnya.
Kulangkahkan
kakiku menuju mejanya. Ia memandangku dan tersenyum.
“Hey,
bagaimana harimu? Silahkan duduk.”
“Membaik,
terimakasih.” kutarik kursi dan kududuk di hadapannya.
“Kau terlihat
sangat cantik.”
“Itu konyol.”
Tersenyum,
“Baiklah. Bagaimana kabar Helijha?”
“Bagaimana kau
bisa mengenal ibuku?”
“Kami
berkenalan, saat aku datang ke rumahmu, Rain.”
“Panggil aku
Aeshaa.”
“Maaf, Aeshaa
maksudku.”
Aku dan Alee
berbincang sambil menyeruput seangkir Coffe
Late dan Cappucino. Membicarakan
hal yang menurutku sangat tidak penting. Aku tidak mengharapkan kejadian
seperti ini. Tiba-tiba Alee diam dan memandangku. Ia mengeluarkan sebuah kotak
kecil dari sakunya. Merah. Ya, kotak berwarna merah. Aku tertegun melihat kotak
kecil itu, menahan nafas sejenak dan memandangnya. Alee melamarku. Ia
mengatakan betapa ia sangat mencintaiku. Mustahil! Aku benci adegan ini. Lalu
ia membuka kotak merah itu dan cincin berwarna silver dengan kilauan mewah dan berlian biru di atasnya.
“Aeshaa, would you marry me?”
Pertanyaan
konyol! Aku benci saat-saat seperti ini. Ini yang kunantikan jika aku bersama
Hady. Hady melamarku, bukan Alee. Mengapa Tuhan terlihat sangat tidak adil?
Mengapa bukan Hady yang melamarku? Mengapa lelaki yang tidak kucintai
melamarku?
Di saat seperti ini, aku tak dapat mencurahkan perasaan kacauku kepada Hady. Mengapa Hady meninggalkanku? Mengapa sekarang aku tak dapat menghubungi Hady? Mengapa ia menghilang?
Penuh tanya, bahkan aku tak dapat mengendalikan diri. Aku terdiam.
Di saat seperti ini, aku tak dapat mencurahkan perasaan kacauku kepada Hady. Mengapa Hady meninggalkanku? Mengapa sekarang aku tak dapat menghubungi Hady? Mengapa ia menghilang?
Penuh tanya, bahkan aku tak dapat mengendalikan diri. Aku terdiam.
“Aku tidak
memaksamu, Aeshaa.” ucapnya penuh perasaan kecewa.
“Tak semudah
itu, Alee.”
“Aku tahu, kau
perempuan yang masih sangat mencintai kekasihmu. Kau tak semudah ini
menerimaku. Kau perempuan baik dan setia. Aku tahu semua. Tapi Hady telah meninggalkanmu,
Aeshaa.”
“Hentikan
omonganmu! Kau tidak tahu apa-apa tentang aku, begitupun Hady, kekasih yang
amat sangat aku cintai.”
“Maafkan aku,
Aeshaa. Aku tak bermaksud seperti itu. Dengarkan aku, aku menyukaimu sejak
pertama kali aku melihatmu. Kau adik kelasku dan aku seniormu. Tapi aku tak
berbuat apapun. Dan tak ada seorangpun yang tahu. Aku menahan semua perasaanku.
Tepatnya, aku mengetahui berakhirnya hubunganmu dengan Hady. Aku mulai
memberanikan diri. Aku tak ingin banyak bicara, Aeshaa. Jika kau tak mau, it’s
okay. Aku tak memaksa.”
“Lupakan semuanya,
Alee. Maafkan aku.”
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
“Aku menyukai
Alee, Rain.” ucap Ibu sambil mengaduk cokelat hangat untukku.
“Maksudmu?”
“Ia anak yang
baik, tampan dan kaya raya.”
“Seperti
pangeran yang hidup di istana kerajaan dan digemari banyak wanita?”
“Perfect!”
“Hahahaha.
Dongeng bodoh macam apa. Baiklah, kemudian aku adalah snow white dan kau ibu tiri. Kemudian kau menyukainya dan
menikahinya. Keren!”
“Hey, apa yang
terdengar keren?”
“Hahaha. Cukup
bu, perutku sakit.”
“Kau sudah
gila, Rain. Minumlah ini.”
“Tapi, ibu
tidak menaruh bubuk racun ke dalam minumanku kan?”
Ibu melemparku
dengan sepotong roti yang sudah digigitnya. Aku tertawa. Suasana hangat sudah
dapat kurasakan kembali walaupun bekas luka yang menggores masih belum hilang.
Ia selalu membahas tentang Alee. Aku tak mengerti mengapa demikian. Aku
memberitahukan ibu jika aku telah dilamarnya, namun kutolak. Ibu membujukku
layaknya anak kecil menginginkan robot baru di toko mainan. Ia mengharapkan
pernikahanku dengan Alee. Aku tak dapat mendustakan semua ini.
“Mum, I don’t love him.”
“Try to love him. Aku percaya
padamu. Buatlah aku bahagia.”
“Tapi aku tak
akan bahagia.”
“Rain!”
“Kau selalu
memaksaku.”
“Aku tak
memaksamu. Aku mengerti apa yang kau butuhkan. Demi kebaikanmu. Aku tak ingin
melihatmu seperti orang gila yang tak tahu kemana arah hidupnya.”
“Aku memang
gila!”
Aku kehilangan
arah. Aku membencinya disaat ia mengatakan hal tersebut. Hubunganku dengan
Hady. Ia memang meninggalkanku. Tapi, tak akan pernah tertinggal untuknya. Aku
mati untuk mencintainya. Akupun gila karena mencintainya. Mengapa aku merasa
begitu terusik. Kekangan yang akan membuatku sama seperti Rania. Mungkin aku
akan menyusul Rania.
“Rain, maafkan
aku. Aku hanya tak ingin melihatmu berlarut-larut dalam kesedihan. Memikirkan
Hady. Aku tahu kau tidak bisa melupakannya, aku sangat mencintainya. Aku tak
ingin kau seperti Rania. Gila karena cinta. Kau akan bahagia dengan Alee. Hady
tak akan pernah kembali.”
“Aku harus
memikirkan itu semua, Mum.”
Aku tak ingin
memikirkan hal ini. Kepalaku rasanya mau pecah. Yang ada dibenakku hanya Hady.
Harapan yang selalu ada dari dalam diri ini. Berat menanggung beban
ketidakpastian, menunggu kehampaan dan tidak dapat menerima kenyataan.
Kuputuskan untuk pergi ke luar menemui Anna, sahabatku. Kami berdua menghabiskan waktu untuk shopping dan datang ke acara pameran buku di Grand Paramount. Guna melepas beban dan menghilangkan pikiran kacau yang ada di otakku. Menyenangkan, walaupun sesekali aku teringat Hady karena melewat tempat-tempat favorit kami berdua. Belum sampai ke rumah, telepon selularku bordering. Alee. Sekarang ia berada di rumahku, seperti kebingungan mencari keberadaanku.
Kemudian kami bertemu.
Kuputuskan untuk pergi ke luar menemui Anna, sahabatku. Kami berdua menghabiskan waktu untuk shopping dan datang ke acara pameran buku di Grand Paramount. Guna melepas beban dan menghilangkan pikiran kacau yang ada di otakku. Menyenangkan, walaupun sesekali aku teringat Hady karena melewat tempat-tempat favorit kami berdua. Belum sampai ke rumah, telepon selularku bordering. Alee. Sekarang ia berada di rumahku, seperti kebingungan mencari keberadaanku.
Kemudian kami bertemu.
“Apa yang kau
perlukan, Alee?”
“Hanya ingin
bertemu denganmu.” Menyeruput teh hijau yang dibuat oleh Ibu.
“Ya, aku
mengerti.”
“Kau tak
pernah mengetahuiku sebelumnya?”
“Tidak.”
“Aku mantan
kekasih Rania, kakakmu.”
Hal aneh apa
lagi yang membuatku terkejut? Benar-benar gila!
“Berapa lama
kau menjalani hubungan ini?”
“Lima tahun,
dan kandas ketika aku di Paris dua tahun yang lalu. Ternyata, kau perempuan
yang kurang perhatian, terutama dengan keluargamu.”
“Kau
mengetahui semua?”
“Rania.”
“Apa saja yang
ia ceritakan padamu?”
“Semua
tentangmu.”
“Hey, aku serius!”
“Aku
menyukainya, namun tidak mencintainya. Aku mencintaimu. Karena tak ada usaha
yang dapat kulakukan melihatmu begitu manis bersama Hady, aku menjadikan
kakakmu sebagai kekasihku.”
“Hey,
brengsek! Kau mempermainkan Rania!”
“Aku tak
bermaksud seperti itu, Aeshaa. Maafkan aku. Please,
dengarkan aku?”
“Kau adalah wanita pertama yang aku suka dan aku cinta. Tapi, aku tak meyakini hal itu. Kau dan Hady. Aku tidak dekat denganmu, tak mengenalmu, bagaimana aku bisa mendekatimu. Mustahil! Lagi pula kau sudah lama sekali menjalani hubungan dengan Hady. Aku tak mungkin mengganggu. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku kehilangan banyak cara untuk mendapatkanmu. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjadikan Rania sebagai kekasihku. Aku belajar mencintainya. Aku sayang padanya.
Kau tahu mengapa aku meninggalkan Rania? Ia menghianatiku, berselingkuh dengan lelaki lain. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kuputuskan ia.”
“Kau adalah wanita pertama yang aku suka dan aku cinta. Tapi, aku tak meyakini hal itu. Kau dan Hady. Aku tidak dekat denganmu, tak mengenalmu, bagaimana aku bisa mendekatimu. Mustahil! Lagi pula kau sudah lama sekali menjalani hubungan dengan Hady. Aku tak mungkin mengganggu. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku kehilangan banyak cara untuk mendapatkanmu. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjadikan Rania sebagai kekasihku. Aku belajar mencintainya. Aku sayang padanya.
Kau tahu mengapa aku meninggalkan Rania? Ia menghianatiku, berselingkuh dengan lelaki lain. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kuputuskan ia.”
“Kau Alex?”
“Ya, panggilan
sayang Rania.”
“Kau tahu
sekarang Rania tinggal dimana? Ia sakit jiwa karena ulahmu!”
“Hey, bukan
ulahku. Dia yang membuatnya sendiri. Aku tak tahu menahu. Aku berusaha
membuatnya bahagia, tapi ia memaksaku untuk tunangan dengannya. Sedangkan ia
mengandung bayi hasil perbuatan dengan selingkuhannya walaupun ia
menggugurkannya. Kau tak mengerti perasaanku. Aku hancur.”
Buruk. Benar-benar
buruk. Aku tak menyangka hal ini terjadi pada Rania. Benar, aku tak pernah
perhatian dengan keluargaku.Dan Alee adalah Alex. Penyebab kehancuran Rania. Tapi tak sepenuhnya aku mengetahui semua.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
Paris. Aku kembali ke kota dimana aku bersekolah disana. Aku
harus menyelesaikan semua urusanku dengan sekolah yang kutumpangi hampir empat
tahun itu. Berkas-berkas dan beberapa buku yang masih kutinggal di apartemenku
masih tetap pada tempatnya. Lelah rasanya. Kulentangkan tubuhku ke atas kasur
agak penuh debu. Kupandangkan mataku ke arah langit-langit. Baru setengah mata
ini kupejamkan, handphoneku bordering
tanda pesan masuk. Lagi-lagi nomor yang tidak kukenal.
“Café de Paris, Eiffel. Jam tujuh malam. Hady.”
Jantungku
berdebar lebih cepat. Berulang kali kubaca pesan itu. Tak kusangka jika pesan
itu benar-benar dari Hady. Aku tak sabar menanti dua jam lagi. Aku segera
merapihkan semua disekitarku. Terutama keadaanku yang sangat kacau.
Aku mengenakan
dress berwarna magenta dan sedikit kujepit rambutku ke belakang tak lupa hak
berwarna silver dan lip gloss di
bibirku. Kulihat wajahku di depan cermin lalu tersenyum. Entah mimpi atau
kenyataan yang sedang menghadang diriku.
Kulihat sosok
lelaki mengenakan kaos berwarna cokelat tetapi bentuk tubuh yang tak biasanya
kukenal. Aku mengecilkan mata dan berusaha menghampirinya. Lelaki itu
membalikkan badannya dan menatapku.
“Aeshaa?”
“Alee?”
“Bagaimana
bisa kau kembali ke Paris?”
“Kau mengirim
pesan padaku, dua jam yang lalu?”
“Tidak.”
“Baiklah.”
Aku menghela
nafas. Dan semua yang telah kuharapkan hancur di depan mata. Entah aku harus
tersenyum atau menangis. Tak peduli siapa pengirim pesan sialan itu. Aku
mencoba duduk sejenak di kursi besi berwarna putih. Aku menatap wajah Alee.
Kesal, dan tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Aku menangis entah mengapa air mata ini mengalir di pipiku. Alee menatap balik dengan perasaan iba. Ia menarik tanganku dan menuntunku untuk berdiri dihadapannya. Ia mengusap air mataku dengan kedua tangannya. Aku tak dapat berbuat apa-apa.
Aku menangis entah mengapa air mata ini mengalir di pipiku. Alee menatap balik dengan perasaan iba. Ia menarik tanganku dan menuntunku untuk berdiri dihadapannya. Ia mengusap air mataku dengan kedua tangannya. Aku tak dapat berbuat apa-apa.
“What happen?”
“Lupakan
semua.” jawabku.
Ia masih
berdiri di depanku. Tak mengerti apa yang akan ia perbuat. Ia mengeluarkan
sesuatu dari sakunya. Ya, kotak kecil berwarna merah yang pernah aku lihat
sebelumnya. Ia menundukkan kepalanya seakan berharap cincin kecil itu jadi
milikku.
“Alee…”
“Kau yakin tidak mengirim pesan padaku?”
“Kau yakin tidak mengirim pesan padaku?”
“Tentu. Aku
tidak mengerti akan kehadiranmu. Masalah kotak kecil ini, aku selalu membawanya
setiap saat. Dan aku berharap disaat aku bertemu denganmu, aku akan melamarmu.”
“Oh, God. Please.”
Hancur. Hampir
terlihat sangat berantakan. Perasaan yang mencabik hingga aku terbungkam tapi
tak kuat. Apa yang harus kukatakan? Terdengar ribuan suara di telingaku. “Aku mencintaimu, Rain.” “Kita akan menikah,
secepatnya.” “Rain, aku tak ingin hal buruk terjadi padamu jika kau menikah
dengan Hady.” “Kau tak mungkin menikah dengannya, percayalah padaku, aku
ayahmu, Aeshaa.” “Alee begitu baik, aku menyukainya, Rain.” “Kalian akan
menjadi pasangan yang serasi, Hady.” “Aku merindukanmu, Sun.” “Hey Rain, jangan
pernah tinggalkan aku.”
Berulang kali
aku membenci hidupku. Aku tak akan membiarkan ini terjadi. Lebih baik aku mati atau
dipenjara. Aku tak akan pernah meninggalkan Hady, tapi ia meninggalkanku.
“Ya.”
“Kau menerima
tawaranku?”
“Yes.”
Alee
memasukkan cincin itu ke lingkar jari manisku. Bukan Hady, tetapi Alee. Ya, ia
tersenyum sedangkan aku menangis di dalam hati. Aku menahannya dan memberikan
senyuman palsu. Kemudian ia memelukku. Saat aku berada dalam pelukkannya, aku
membuka mata dan melihat ke arah depan. Aku terkejut melihat Hady berdiri dari
kejauhan tepat di depanku. Ia berdiri seakan kalah dari peperangan. Badannya
terlihat sangat kurus dan lesu. Ia menatapku dengan uraian air mata dan bibir
tertutup. Ia terlihat sangat kacau. Jaket kesayangannya yang amat kukenal basah
tersiram air hujan yang sedang turun di luar sana. Aku menangis dan menatapnya.
Kulepaskan pelukkan Alee, dan memanggil Hady. Alee melepas pelukkanku dan
berusaha menahanku. Aku berteriak memanggil namanya, Hady. Tapi ia pergi begitu
saja. Aku berlari mengejarnya. Alee mengikuti langkahku dan menarik tanganku.
Aku memohon padanya agar aku dapat bertemu Hady.
“Hady, please dengarkan aku.”
“Apa yang
harus kau katakan padaku hingga aku harus mendengarkanmu?”
“Aku
merindukanmu.”
“Secepat itu
kah kau mengatakan bahwa kau rindu padaku?”
“Aku hancur.”
“Aku jauh
lebih buruk dari itu.”
“Menikahlah dengannya.”
“Menikahlah dengannya.”
“Aku tak
mungkin melakukan itu.”
“Tapi kau akan
melakukan itu.”
“Hady, aku
mencintaimu!” kupegang pipinya dengan kedua tanganku.
“Tapi aku
telah kehilangan cintaku.” melepas tanganku.
“Kau hilang
meninggalkanku!”
“Aku kembali,
tapi kau menghilangkan semua!”
“Hady!”
Ia pergi
meninggalkanku. Aku berusaha mengejarnya, tapi tiba-tiba Alee menarik tanganku
dari belakang. Ia memelukku dalam keadaan aku menangis. Aku berharap tidak
terjadi dan sayangnya semua sudah terjadi.
Alee mengantarku pulang ke apartemen. Malam ini ia tidur bersama ibunya di Helmut Newcake, tempat aku bekerja dulu.
Alee mengantarku pulang ke apartemen. Malam ini ia tidur bersama ibunya di Helmut Newcake, tempat aku bekerja dulu.
“Istirahatlah.
Aku tidak memaksamu masalah pernikahan. Buanglah cincin itu jika kau ingin
membuangnya. Aku akan membatalkan semua. Aku sangat mencintaimu namun kau tidak
mencintaiku. Aku terlalu berharap lebih. Good
night.”
“Alee…”
“Ya?”
“Lupakan kejadian
tadi.”
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
Aku kembali ke kota kelahiranku. Kondisiku yang semakin
melemah. Tak ada hal lain yang dapat kulakukan selain membaringkan badanku di
atas pasir pantai, mendengar deburan ombak dan pasir bersisik. Angin membantu
membuang pikiranku. Memejamkan mata dan mengarahkan pandanganku ke atas langit.
Ombak air laut yang membasahi kakiku. Tempat yang sangat sempurna dimana aku
menghabiskan waktu bermainku bersama Hady. Bisikan suaranya menghantuiku hingga
aku merindukan ucapan kasih sayangnya. Kemudian aku menangis dan menangis lagi.
Kadang terdengar langkahan kakinya, aku menengok sekejab, tapi hanya khayalan
belaka. Jika Tuhan menunjukkan keajaibannya, entah apa yang akan kulakukan
untuk menunjukan rasa kebahagiaanku dapat hidup bersamanya. Dan semua itu hanya
mimpi. Aku menyerah dan kalah.
Tiba-tiba Alee
datang dan duduk disampingku. Aku tak menghiraukan kehadirannya. Ia menatapku
dan diam. Aku tak menoleh sedikitpun.
“Maafkan aku,
Aeshaa.”
“Bukan
salahmu.”
“Aku akan
membantumu, agar kau dapat kembali bersama Hady. Aku akan mengabulkan apa yang
kau inginkan. Termasuk aku mati. Aku pengganggu, penghancur impianmu.”
“Mustahil. Kau
tak salah, Alee. Hady meninggalkanku.”
“Tapi ia berusaha
kembali padamu. Ia rela mati, walaupun ayahnya akan membunuhnya jika ia
bersamamu.”
“Kau tahu
apa?”
“Aku mengenal
keluarganya. Siapa yang tidak tahu ayahnya? Apakah ia menjadi penghalang
hubunganmu dengan Hady. Selama ia menjalani hubungan dengan kau, ia mempunyai
banyak rintangan untuk melawan ayahnya yang sangat kejam. Tapi pada akhirnya ia
kalah.”
“Aku
pembicaraanmu.”
“Maafkan aku,
selalu membuatmu menangis, Aeshaa.”
“Kita akan
menikah.”
“Maksudmu?”
“Kau dan aku
menikah.”
“Aeshaa?”
“Kau tidak mencintaiku. Kau akan menikah dengan Hady. Hady adalah impian terbaikmu. Bukan aku.”
“Kau tidak mencintaiku. Kau akan menikah dengan Hady. Hady adalah impian terbaikmu. Bukan aku.”
“Aku tidak
akan menikah dengannya. Aku menikah denganmu.”
“Kau tidak
mencintaiku.”
“Aku belajar
untuk mencintaimu.”
Keputusan yang
sudah bulat. Kuucapkan begitu saja walaupun hati ini tetap tertulis nama Hady.
Aku tidak mencintai Alee. Sedikitpun tidak. Harapan yang sudah hancur, semakin
hancur. Aku memberitahukan semua ini kepada Ibu. Aku juga akan memberitahukan
hal ini kepada Rania juga Hady. Aku tidak mengerti mengapa memutuskan semua ini
dengan berat hati.
Alee terlihat begitu senang. Tapi kondisi yang memaksaku, ia tetap menghargai perasaanku. Walaupun kami akan menikah, tidak terlihat sebahagia pasangan pengantin yang akan menikmati kebersamaan dua cinta yang baru matang.
Alee terlihat begitu senang. Tapi kondisi yang memaksaku, ia tetap menghargai perasaanku. Walaupun kami akan menikah, tidak terlihat sebahagia pasangan pengantin yang akan menikmati kebersamaan dua cinta yang baru matang.
Hari ini aku mengunjungi Abn Hospital untuk menjenguk Rania.
Memberikan kabar buruk, kabar buruk untuknya juga untukku. Rania duduk di
bantalan berwarna putih mengenakan piyama berwarna yang sama. Ia menatapku
kemudian menangis. Aku memeluknya. Baru kali ini aku merasakan rasa kasih
sayang kakak beradik setelah tahunan lamanya. Yang kami kenal hanyalah
bertengkar, bukan pelukan. Kukecup keningnya. Ia menangis, aku mengusap
kepalanya.
“Aku akan
keluar, Rain.”
“Kau belum
sembuh, Rania.”
“Aku sudah
sembuh, tapi dokter belum memngizinkanku pulang.”
“Rania, aku
akan menikah.”
“Menikah?
Dengan Hady?”
“Alex.”
“Alex?”
Rania terkejut
mendengar perkataanku. Matanya melotot dan menggenggam bantalan putih yang ada
disampingnya. Wajahnya marah memerah. Ia berusaha menyerangku, melempar semua
bantal yang ada disekitarnya. Aku menangkis dan menahan tangannya kemudian
kutarik badannya dan kupeluk. Ia menangis dan berteriak tiada hentinya.
Memanggil nama Alee dengan Alex lalu menamparku. Aku diam dan menatapnya. Rania
terus menyerangku. Aku hanya bisa menahan serangannya dengan kedua tanganku
menutupi wajahku. Perawat segera datang menghentikan Rania dengan memberi
suntik penenang. Salah satu dokter disana menuntunku untuk keluar. Ia
menjelaskan padaku kondisi Rania yang memang belum sembuh total. Ia mengalami
trauma besar, apalagi aborsi yang telah ia lakukan dulu.
Disaat aku sedang berbicara dengan dokter, perawat datang sambil menuntun Rania. Ia sudah kelihatan lebih tenang dari sebelumnya.
Disaat aku sedang berbicara dengan dokter, perawat datang sambil menuntun Rania. Ia sudah kelihatan lebih tenang dari sebelumnya.
“Rain..”
“Bagaimana
keadaanmu?”
“Jauh lebih
baik. Menikahlah dengan Alex. Aku menyetujuinya.”
Secepat itu Rania
memutuskan. Padahal kondisi yang amat parah menyerang dirinya baru beberapa jam
yang lalu. Aku tidak akan pernah tega melihat Rania tersiksa karena cinta.
Cinta yang diharapkan tapi termakan olehku. Ini sudah keputusanku dari awal.
Dan keputusan kedua yang telah ia ungkapkan. Entah mengapa aku merasa jahat.
✿.。♥Tears
of Rain on July♥。.✿
Pernikahan di depan mata. Ya,
menikah dengan seorang lelaki yang tidak kucintai. Mengenakan gaun putih yang
sangat indah. Rambut cokelatku diikat sangat rapi. Ini bukan hari bahagiaku.
Tetapi hari burukku, hingga aku harus menikah dengan Alee, bukan Hady
kekasihku. Aku melihat lekukan gaun yang indah ini di depan cermin. Menatap
wajahku tanpa senyuman. Air mata yang terus keluar membasahi pipiku. Ibu
berusaha menghapus air mataku dan memberikan sedikit polesan bedak ke pipiku.
Aku terdiam tak akan pernah mengucapkan satu katapun. Berdiri berdampingan
bersama Hady mengenakan gaun pengantin dan ia mengenakan jas hitam, hanya mimpi
yang tak akan pernah terjadi.
“Rain, ini
hari besarmu. Sebuah pesta pernikahan.”
“Ini hari
burukku.”
“Baiklah. Aku
mendapatkan ini dari kekasihmu.” sambil memberikan lipatan kertas putih.
“Apa ini?”
“Bukalah.”
“Aeshaa, atau Rain. Kini bukan Sun, Star, Darling, sayang,
manis. Hanya Aeshaa. Aku berharap kau akan bahagia hidup bersama Alee, bukan
aku. Aku diundang untuk datang ke acara pernikahanmu. Tetapi, aku memilih untuk
tidak datang. Itu akan membuatku hancur. Lupakan semua tentang aku, kau, tentunya
kita berdua. Selamat. -Hady-.“
Ya, surat dari
Hady. Aku tak kuat menahan beban yang ada dalam diriku ini. Aku menangis dan
terus menangis. Hari besarku adalah hari kesedihanku yang amat pedih.
Aku berusaha
kuat menghadapi ini semua. Acara yang kiranya sacral berlangsung begitu saja. Aku tidak menjadi diriku. Aku
adalah orang lain yang menikah dengan
Alee. Puluhan orang tersenyum bahagia melihat aku dan Alee. Aku ingin
semua ini cepat berakhir. Alee menatapku dan ribuan kali ia meminta maaf
padaku. Aku berusaha menyembunyikan air mataku. Alee sangat mencintaiku, tapi
aku sama sekali tidak mencintainya. Kini, aku dan Alee adalah sepasang suami
isteri.
Aku merasakan ketidakbahagiaan yang
membuat hidupku terasa amat membosankan. Aku masih mengenakan gaun putih yang
indah ini dan duduk di atas ranjang menghadap jendela kamar. Ya, menangis.
Apakah aku harus melepaskan sepatu cantik ini dan berlari keluar lewat pintu
belakang seperti film-film yang ada. Tapi itu semua sudah terlambat. Aku sudah
menikah dengannya.
Saat aku
termenung, pintu kamar terbuka seakan ada seseorang yang masuk. Aku tak melirik
dan tidak penasaran. Karena aku tahu bahwa suara langkah kaki itu adalah Alee.
Ya, benar. Ia duduk di sisi ranjang belakangku.
“Aeshaa?”
“Ya.”
“Semua sudah
terjadi, aku tak dapat menghentikannya.”
“Tak perlu
dihentikan.”
“Kau boleh
tidak tinggal bersamaku.”
“Itu tidak
mungkin.”
“Seharusnya
kau menikah dengan Hady, bukan denganku.”
“Tapi aku
sudah menikah denganmu!”
Alee terdiam.
Ia merasa sangat bersalah. Aku terlalu kasar padanya. Aku meminta maaf dan ia
pergi dari tempat itu.
“Maafkan aku, Alee.”
gumamku dalam hati, lalu menangis.